Senin: Pricing Decision

2.4K 216 44
                                    

"Mathematical constructs can help you make better decisions, even in small matters." -Anonymous

Ayia mengetukkan ujung jari telunjuknya secara berulang sembari menatap dosennya dengan tatapan bosan sekaligus mengantuk. Masih ada dua puluh menit sebelum mata kuliah dua SKS yang membosankan ini berakhir, dan dirinya sudah menguap lebih dari enam kali. Ia melirik sisi sebelah kanan, teman lelakinya yang berambut gondrong sudah tertidur pulas beberapa menit setelah mata kuliah dimulai. Di sisi sebelah kiri ada teman perempuannya yang tersenyum malu-malu menatap ponselnya, mungkin sedang berkabar dengan gebetan.

Ia menghela napas berat.

Bosan.

Bosan.

Bosan.

Ayia tidak suka pelajaran teori, ia bukan tipe manusia yang dapat menghapal istilah ini dan itu hingga titik dan komanya persis sama. Otaknya seakan-akan tidak mau diajak bekerja sama. Dahulu waktu Ayia masih kelas satu SMA, nilai rapornya selalu kurang baik di mata pelajaran yang membutuhkan kemampuan menghapal seperti Sejarah dan Biologi. Ketika tiba di penghujung kelas X dan sudah waktunya ia mengisi formulir mengenai jurusan yang akan dia ambil untuk kelas XI, Ayia bingung. Kalau masuk IPA dia akan bertemu biologi yang mengharuskannya mengapal sistem peredaran tubuh manusia, di kelas IPS dirinya akan bertemu Sejarah yang mengharuskannya menghapal nama panglima perang Belanda, dan di kelas Bahasa ia akan bertemu Bahasa Jerman yang mengharuskannya menghapal jenis kelamin benda –der, die, das.

Memikirkannya saja membuatnya pusing.

Namun akhirnya gadis itu memilih IPA setelah berdiskusi dengan Bapak dan Ibu yang sebenarnya membuat ia tambah bingung.

"Bapak dulu ambil IPA waktu SLTA, kuliah Teknik Sipil, sekarang bisnis makanan ternak." jawab Bapak sambil tertawa ketika ditanyai suatu Minggu pagi. Bapak terlihat sibuk memandikan burungnya yang bernama Pipit. "Mau ambil jurusan apa terserah kau lah, yang belajar kan kau. Iya kan, Pit?"

"Bapak! Kenapa 'Pit'? Kan lagi ngomong sama aku."

Bapak malah tertawa, "Biar nggak serius-serius banget."

Ayia memutar matanya terlihat sebal. Kemudia ia mengalihkan perhatiannya ke arah Ibu yang sedang menyiram bunga di halaman, dibantu oleh mbak Yati, si asisten rumah tangga.

"Buu, aku bingung nih. Bapak ditanya malah jawabannya gitu, sebal."

Ibu dan mbak Yati tertawa, mereka mendengar percakapan Ayia dan Bapak tadi.

"Ambil apa aja, Neng Ayie." mbak Yati memanggil Ayia dengan sebutan Ayie, panggilan gadis itu di rumah. "Yang penting nanti lulus bisa kayak Bapak sama Ibu, cari uang yang buanyak gitu." 

Ayia mengerucutkan bibirnya, terlihat belum puas. "Kalau Ibu bagaimana?"

"Ibu dulu jurusan Bahasa, sekarang jadi istri Bapak kamu."

Dalam hati ia bertanya, "Tuhan, ada apa dengan orang-orang di rumahku?"

Pada akhirnya Ayia memilih IPA dengan pertimbangan lebih banyak pelajaran menghitung di jurusan ini. Masalah mau kuliah apa nanti gampang, dari IPA bisa ke mana saja. Yang penting banyak hitungannya.

Sekarang Ayia sudah mahasiswa, tidak lagi mengenakan seragam putih abu dan diantar oom Beno, supir keluarganya kemana-mana. Gadis itu lolos Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri di luar kota tempat tinggalnya, masuk jurusan yang sama sekali tidak terduga.

Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan.

Ayia ingat betul hari pertama kuliah ia mengenakan batik berwarna oranye gara-gara bangun kesiangan, baju itu berada di tumpukan paling atas lemari pakaiannya. Terburu-buru ia lari dari kos menuju kampus yang jaraknya cukup dekat, melupakan fakta bahwa Bapak membelikannya motor. Seharusnya ia bisa sampai kampus lebih cepat tanpa perlu menghabiskan tenaga dengan berlari.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 31, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tujuh Hari Bersama BrianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang