Dave Meyer adalah seorang perawat pria dengan tingkat kesabaran melebihi rata-rata. Meski wajahnya tidak terlalu tampan dengan bekas luka codet panjang yang melintang di pipinya--hadiah dari seorang pasien depresi beberapa bulan lalu--tapi tidak akan ada yang mengatakan kalau Dave jelek. Dia menarik, karena senyum ramah tidak pernah meninggalkan bibirnya yang agak tebal dan berwarna merah karena bebas dari racun nikotin, dan mata biru mudanya selalu menatap penuh kelembutan. Alisnya tebal, tapi berbentuk datar dan agak berantakan menunjukkan kesabarannya yang hampir tak terbatas, dengan dahi agak lebar dan tepian pelipis yang mulai dihiasi warna kelabu. Dave bukanlah pria idaman wanita, tapi jelas merupakan pria terbaik yang bisa dimiliki oleh siapa pun.
Dan aku mencintainya.
Seolah tahu kalau diperhatikan, Dave menoleh dan melemparkan senyum ramahnya kepadaku. Dia memberikan tanda agar aku menunggunya menyelesaikan pembicaraan dengan salah satu dokter di rumah sakit ini sebelum mendekatiku.
"Hai, Bri. Apa yang membuatmu sampai begitu sabar menungguku?" sapanya.
Aku menatapnya lama. Ada segumpal kesedihan menatap wajahnya yang teduh itu, menyadari kalau dia tidak akan ada di sini lagi.
"Aku ... aku ...." Aku menghela napas saat tidak mampu menemukan kalimat apa pun.
Senyumnya makin memikat. "Ada kucing menggigit lidahmu?" guraunya.
Tanpa kuingini, dua aliran bening membasahi pipiku, membuat Dave terlihat kaget.
"Bri ... ada apa?" tanyanya lembut sambil meraih pundakku, lalu membimbingku menuju bangku tunggu di depan kamar perawatan. Dibantunya aku duduk dan dengan jemarinya yang besar tapi hangat dia menghapus air mataku.
"Hei ... kau kenapa? Apa aku sudah melakukan sesuatu yang salah?"
Aku mencoba menatapnya dengan air mata yang membuat pandanganku berkabut. "Jangan pergi," kataku tersendat. Lalu aku memeluknya erat.
Beberapa saat Dave membeku dengan lengan tergantung di udara. Namun, aku tidak berniat untuk melepaskannya, hingga beberapa saat kemudian kurasakan lengannya merengkuhku. Melingkari tubuhku dengan hangat.
"Hei ... hei ... aku tahu aku memang sangat manis dan tampan, tapi aku tidak tahu kalau kau mencintaiku sebesar itu. Ayo, Bri ... jangan menangis. Aku masih di sini, kan?" bujuknya.
"Kau tidak tahu, Dave. Kau tidak tahu sebesar apa aku mencintaimu," batinku, meski tidak punya cukup keberanian untuk mengatakannya.
"Dave ... kumohon tinggallah. Jangan pergi." Kalimatku tertelan oleh isak.
Dave menatapku dengan matanya yang teduh. "Hei, dengar aku, Kucing Manis. Aku harus pergi. Ada seorang ayah yang memerlukanku. Aku tidak boleh mengabaikannya, bukan?"
"Tapi kau bisa membawanya kemari. Di sini rumah sakitnya lebih besar dan lengkap. Ayahmu bisa tinggal denganmu di apartemen itu ... dan...."
Dave memegang kedua pipiku. "Brianna Jones, dengar. Aku tidak bisa terus di sini. Bukan hanya ayahku yang harus kuurus, ada juga sebuah peternakan kecil yang menjadi tanggung jawabku di sana. Peternakan itu punya beberapa karyawan, dan aku harus menjaga mereka. Kau mengerti?"
Aku menggeleng kuat-kuat. "Lalu aku bagaimana?" tanyaku keras kepala.
Dave tersenyum. "Dengar aku, teman baik. Kau punya semua yang kau butuhkan di sini. Ada kakekmu, dan ada Richard. Dia sangat mencintaimu, kau tahu?"
Aku menatapnya. "Tapi aku tidak mau kau pergi ... aku ...."
Dave kembali tersenyum. "Kumohon, meninggalkanmu sudah cukup sulit, jangan biarkan pria besar ini menangis, oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hidden Desires
RomanceHei gals... Di sini aku bawa kumpulan cerita seksi yang beda sama sekali dengan genre yang kupilih selama ini. Sama seperti orang lain, aku juga punya sisi berbeda. Sisi di mana seluruh hasrat terpendam begitu rindu untuk dicurahkan. Tapi karena kum...