Bab 1

81 5 16
                                    

Rei POV

"Kalian bertengkar lagi?" Aku menghembuskan nafas lelah saat Naina bertanya atas perubahan mood Sheila sore itu.

"Ayolah Naina, kau pasti tau alasan kami bertengkar. Jangan menghakimi seakan aku tak pernah mengerti keadaan dirinya." Naina adalah sahabat Sheila sejak sekolah, dan dia lah yang membantu ku agar dapat berkencan dengan Sheila.

Naina terlihat senang dan kembali memukul kepalaku dengan gulungan majalah yang sedari tadi digenggamnya. Tak menyadari bahwa yang dilakukannya sama sekali tak membantu.

"Bukankah sudah jelas bahwa Sheila sudah memutuskan untuk tidak akan menikah sampai kapan pun? Kau harus menghargai keputusannya itu."

Then here we go.
Setelah berseteru dengan Sheila maka sekarang aku memulai lagi perdebatan dengan Naina. Naina mengerti dengan keinginanku menikahi sahabatnya hanya saja ia juga tak pernah mau membantu untuk membujuk Sheila agar mau menikah denganku.

"Apa aku tak pernah menghargai setiap keputusan yang dia buat? Please Naina kau memahami bagaimana perasaanku terhadapnya, bahwa aku sangat mencintai sahabatmu itu. Sedangkan dia tak pernah memberikan alasan yang jelas mengapa menolak lamaranku"

Aku masih merengut kesal. Naina dan Sheila itu sejenis, mereka suka membuatku berfikir kenapa perempuan bertingkah seperti ini, lalu bertingkah seperti itu. Memberikan tanda-tanda yang menyimpulkan hal sebaliknya.

Hell no! Aku bukan mesin pencarian Internet yang mampu memperkirakan kebutuhanmu hanya dengan satu kata.

Aku tak pernah paham bahasa wanita yang berubah-ubah sesuai mood itu.

Kembali pada permasalahan, lagi-lagi Naina tak memberikan solusi. Ia hanya tersenyum miris menatapku kasihan, ia sering mengatakan bahwa aku harus siap dengan segala sikap aneh Sheila saat memutuskan untuk mendekatinya. Dan sekarang aku mulai paham, karena Naina pun tak bisa melakukan apapun terhadap sahabatnya itu.

"Dia ada dimana?" Tanya ku di sela-sela jam kantor, untung saja suasana agak sepi sehingga aku bisa melakukan curhat dadakan dengan Naina. Meski terhalang kubikel kami masih bisa saling berbicara tanpa ketahuan, memiliki atasan seperti Sheila itu kutukan.

Bukan sudah ku katakan bahwa Sheila itu bos ku, lebih tepatnya dia anak CEO disini dan memilih merintis kariernya dari bawah sehingga saat dia memimpin nanti tak akan ada yang protes mengenai hal itu.

"Di kantornya, saat aku menyapanya di lift pagi ini wajahnya terlihat kurang tidur. Dari sanalah aku berfikir bahwa kalian sedang ada masalah."

Aku mengangguk paham, memikirkan apa yang harus ku lakukan untuk membujuk nya agar mau berbicara denganku. Sejak semalam semua pesan dan telepon ku diabaikan olehnya, dia juga tak pulang ke apartemen nya semalam dan hal itu yang membuatku khawatir karena sampai pagi tadi aku belum juga melihat kedatangannya.

"Jangan sering bikin Sheila marah deh, bikin repot bawahannya yang kena marah tanpa alasan." Seru Naina menatap pada pekerjaan nya yang dikembalikan oleh Sheila untuk diperbaiki.

"Kau tak lupa kan bahwa aku salah satu bawahannya juga?" Mendengar hal itu Naina hanya menggeleng dan terkikik menahan tawanya.

Ini sudah jam istirahat namun aku tak kunjung melihat Sheila keluar dari ruangan nya. Ku tunggu sampai 30 menit dan Sheila masih tak menunjukkan batang hidung nya, membuat mengernyit heran saat mas Arif membawa sesuatu dan masuk ke dalam ruangan Sheila.

"Mas, bu Sheila ada di dalam ruangan nya?" Tanya ku menahan kepergian mas Arif dari ruangan Sheila.

"Ada kok pak, tadi dia minta di belikan makanan karena lagi sibuk katanya."

"Oke makasih ya mas." Rei memutuskan untuk melepas kepergian mas Arif dan menuju ruangan Sheila. Dia rindu dengan kekasihnya itu sedikit menyayangkan pertengkaran yang terjadi diantara mereka.

Meski hanya Naina yang tau bahwa mereka pasangan, tapi Rei tak pernah keberatan karena bagaimana pun juga figur Sheila yang tegas dan disiplin itu tetap terbawa meski mereka bertemu di kantor jadi sampai kapan pun juga orang-lain mungkin takkan pernah percaya bahwa mereka berada dalam suatu hubungan.

Ini masih dikantor jadi sudah sewajarnya Rei mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk ke ruangan kekasihnya. Hanya saja semua pemikiran itu sirna setelah ia mendengar jawaban dari dalam ruangan itu.

Dengan langkah ringan Rei masuk ke ruangan itu, bersenandung ria seakan tak ada masalah di antara mereka.

"Sayang, aku kangen." Sheila menatap sebal pada kekasihnya itu. "Aku kangen loh, kamu kenapa tidak membalas setiap pesanku semalam? Aku mengkhawatirkan mu." Lanjut Rei, mengambil kursi dan duduk tanpa beban disana.

"Ini kantor pak Rei, bersikaplah seperti di kantor." Jawabnya singkat, matanya masih menatap setiap berkas ditangan kiri serta tangan kanan nya sibuk menyuapkan makanan ke mulutnya.

Rei mendengus tak suka pada kebiasaan Sheila yang satu itu. Bekerja dan makan di waktu yang bersamaan mungkin efisien tapi sama sekali tidak efektif. Dia tak mungkin bisa memahami 100% yang ada diberkas itu, dan hal itu akan menyulitkan nya suatu saat nanti.

Ia menarik semua berkas dari tangan Sheila, meletakkannya jauh dari jangkauan gadis itu tanpa mengubah posisi nya sama sekali.

"Aku tau kamu luar biasa, kemampuan multi-tasking mu juga menakjubkan hanya saja aku tak suka melihatmu terlalu bekerja keras seperti tadi."

"Berkas tadi untuk rapat setelah makan siang Rei, aku perlu mempelajarinya sekarang juga." Siapa juga yang takkan luluh dengan perlakuan manis dari sang kekasih, Sheila menatap lembut pria yang tengah menatapnya dalam.

"Baiklah kau menang, tapi biarkan aku yang menyuapimu. Setidaknya dengan itu mata mu bisa fokus hanya pada berkas saja."

Sheila sama sekali tak menolak, dia senang perlakuan manis yang sering ia dapatkan. Ia selalu suka cara Rei menyelesaikan masalah, tak pernah membahasnya saat Sheila tak ingin membicarakannya. Karena ia sampai kapanpun takkan pernah bisa diajak bicara saat perasaannya masih tak menentu.

Rei menatap pada berkas yang digenggam Sheila itu, mencoba mencerna apa yang yang tengah mengusik pikiran sang kekasih. Ini pertama kalinya ia melihat Sheila dalam keadaan tak fokus, matanya selalu beralih dari satu tempat ke tempat yang lain tak menyadari bahwa dirinya lah yang membuat sang gadis itu merasa gugup setengah mati.

Sheila masih menerima suapan dari Rei seraya memaksakan kepalanya untuk memahami apa yang digenggamnya itu. Dan hasilnya nihil, ia kehilangan konsentrasinya semenjak Rei menyuapinya, membuatnya bertekad untuk menolak tawaran Rei yang satu itu kala ia sedang bekerja.

"Kau sendiri sudah makan?" Tanyanya mengalihkan rasa gugup nya menatap mata obsidian sang kekasih

"Belum, tadinya aku ingin mengajakmu makan siang bersama. Tapi ternyata kau sudah memesan makanan jadi aku urungkan niatku." Rei meletakkan sendoknya lalu beralih pada gelas yang tak jauh dari jangkauan nya itu.

"Pulang nanti tunggu aku ya, aku ingin mengantarmu pulang dan nonton beberapa film." Sheila mengangguk atas ajakan Rei setelah itu pergi meninggalkan sang kekasih sendirian di ruangan itu.

A/N : -

The Boss CodeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang