Mama belum pulang. Oleh sebab itu, aku yang anak yatim tak mempunyai ayah, saudara, teman, dan pembantu rumah tangga hanya duduk sendirian memeluk lutut di bawah kolong meja dapur yang kotor penuh bercak saus bercampur lebu. Selalu seperti itu di setiap malam merangkak pagi. Jarang tidur. Berharap, mama yang super duper sibuk pulang agak awal. Namun, dari tiga tahun terakhir, mama tak pernah memenuhi harapku. Malah, dia pulang pun bisa dihitung jemari kecilku.
Miris.
Jemariku menggurat-gurat lantai marmer asal. Menggambar abstrak jika dilakukan di buku gambar. Garis, lingkaran, titik-titik, ataupun persegi panjang tanpa ukuran dasar.
•
•
•Aku kangen mama.
•
•
•Helaan napasku yang tertahan terdengar bak embusan angin kilat menyentuh kulit tangan.
•
•
•Kapan pulang?
•
•
•Aku meringis kecil. Berseru pelan, mengaduh pegal di bagian kaki lantaran kesemutan saat hendak merangkak keluar dari zona tak nyaman-kolong meja-menuju dekat mesin cuci yang diletakkan berseberangan. Lantas bangkit. Hingga tak berselang lama mengernyit dahi saat mendengar suara grasak-grusuk dari ruang tamu.
Tak menunggu lama, aku pun melangkah tanpa alas kaki dengan entakan tertahan, meredam. Berjengket kecil beberapa kali ketika menginjak sesuatu yang entah apa di lantai dekat lajur kecil penghubung ruang makan.
Aku merambatkan tangan pada suatu benda sebagai pegangan. Lantas celingukan, berusaha melihat keadaan ruangan, kendatipun sia-sia lantaran begitu kelam.
Aku terus melangkah hingga mencapai ruang tamu yang sama kelamnya dengan ruangan lain. Tanganku merambat-rambat dinding seraya sesekali menepuk-nepuknya pelan, mencari sakelar. Lantas sesekali pula berjinjit-jinjit disertai suara keluhan kesal.
Namun, sebelum aku menemukan sakelar. Telapak tangan menepuk bahuku keras. Seketika aku tergeming dan menenggang.
•
•
•Siapa?
•
•
•Otakku berputar-putar menebak. Mama. Ya, pasti itu mama.
Senyum semringahku langsung terbit. Lantas badanku bergerak ke belakang sebesar sembilan puluh derajat. Namun, telapak tangan langsung menyambut pipiku keras.
Plak!
Aku gelagapan. Mataku langsung terbuka lebar-lebar dengan deru napas yang tersengal-sengal.
•
•
•Aku mimpi?
•
•
•Pikiran itu membuatku langsung mengelap peluh di pelipis.
"Gandis! Kamu di mana, Nak!" seru seorang wanita yang suaranya sudah sangat kuhapal dan jarang sekali kudengar, dia mama. Namun, kali ini terdengar agak serak, mungkin dia lagi kelelahan.
Lantaran terlalu bersemangat, aku sampai lupa jika masih berada di kolong meja. Kepalaku terbentur keras. Mulutku mengaduh tertahan, pusing bercampur sakit.
Hingga kaki berbalut sepatu resmi dengan hak agak tinggi yang selalu dikenakan mama untuk kerja terlihat sedekat satu meter dari kolong meja di ujung penglihatanku.
Aku langsung menoleh. Bersamaan dengan kepala mama menilik kolong meja. Seketika aku mendelik dan berseru tertahan. Wajah mama penuh darah, bahkan hampir menutupi sebagian, terkecuali mata mama yang berwarna cokelat kini kuning bak nanah. Bibir mama membentuk seulas seringaian jahat padaku.
•
•
•"Selamat malam, Gandis."
•
•
•Dan mulai dari situ, aku membenci gelap, malam, dan ucapan selamat malam.
END.
[-]
Gimana OS-nya?
Mainstream? Tentu iya.
Aku nulis OS ini memang spontan dengan rangkaian kata yang terbatas. And, berkat ada kampanye #trueshortstory aku jadi semangat buat nerusin OS ini, walau hasilnya amat sangat payah. Btw, aku pernah promosiin cerita ini ke beberapa readers wattpad. Jadi, kalau kalian tidak merasa aku 'promosikan' untuk membaca cerita ini, aku mohon maaf, aku tidak bisa me-feedback cerita kalian. Bukan apa-apa, aku juga bukannya males, sombong, etc', tetapi aku hanya ingin karyaku dibaca benar-benar dengan hati ikhlas:). Ah, panjang, ya?
Terima kasih karena telah membaca cerita ini, dan tunggu karyaku yang selanjutnya, ya! Ehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
night | ✓
Short Story[ 1 p a r t ] Aku selalu bertanya pada malam. ❝Aku kangen mama. Kapan pulang?❞ °°° copyright ©2017 by thecassanova