Deep Autumn

3 1 0
                                    

      Waktu tidak berjalan mundur untuk kita. Waktu hanya mengizinkan kita mengenang. Bagaimana lembutnya senyumanmu, binarnya matamu dan tegasnya alismu. Waktu hanya mengizinkan kita saling menukar ingatan dari mata lalu beku dalam hati saja.
       "Jadi bagaimana kabar Haris sekarang?"Bayu kembali membuka pembicaraan setelah hampir setengah jam kita hanya duduk diam dengan pikiran yang entah menerawang ke mana.
       Aku melirikmu, seperti biasa caramu menatap kosong tempat ini masih. Sebuah tahi lalat tepat di pipi kirimu juga masih bisa kulihat. Aku menarik nafas sejenak. Mencoba menenangkan detak yang perlahan semakin tak karuan.
       "Dia baik, sejauh yang aku tahu."
       "Dia baik, sejauh yang aku tahu. " Bayu mengulang kalimatku.         "Kedengaranya ini seperti jawaban saat aku menanyakan kabar seseorang yang lama tak kau temui. Bukankah Juni nanti kalian akan menikah?"
        Bayu menyadarinya? Tidak. Kau tak boleh tahu apa yang Aku dan Haris alami sekarang.
       "Benarkah? Apa terdengar seperti itu? Hmm.. Dua minggu terakhir ini kami tidak saling bertemu. Mungkin karena sibuk dengan urusan pribadi yang belum terselesaikan." Aku tertunduk mencoba menyembunyikan mimik mukaku.
        "Rupanya waktu delapan tahun tidak pernah membuatmu belajar bagaimana caranya berbohong dengan baik."
         Benarkah? Apa senampak itu kebohonganku?
         "Pagi tadi Haris menghubungiku. Ia yang mengatakan padaku kalau kau akan tiba di sini siang nanti.Dia tidak bicara banyak, bahkan aku belum sempat menanyakan kabarnya. Itulah mengapa aku bertanya kepadamu"
          "Benarkah? Lalu apa yang ia katakan kepadamu?"
          "Tida ada lagi. Ia hanya mengatakan itu, tapi dari nada suaranya sepertinya sedang ada masalah. Aku sudah berteman lama dengannya. Suaranya tidak pernah terdengar seputus asa itu"
           Aku menarik nafas lagi. Terdiam sejenak. Aku tidak mungkin menceritakan padamu Bayu. Hal-hal yang aku rasakan sekarang tidak berubah, masih sama seperti dulu.       "Baikalah, sudah lama aku tak berkeliling di kota ini. Mau menemaniku?" Aku mengangkat badanku dan beranjak meninggalkan bangku taman tadi. Aku tak ingin.   Bayu banyak bertanya.
          Bayu berdiri. Mengikuti. Aku rasanya ia paham aku tak ingin meneruskan pembicaraan.
          "Eh.. Kok tiba-tiba? Bukannya kau baru sampai tadi. Kau tak mau beristirahat dulu?"
          "Tidak masalah. Aku rindu tempat ini."
          "Baiklah. Tapi kau harus menunggu kurang lebih 15 menit, aku akan mengunci kafe dulu."
           Aku mengangguk.
Bayu berjalan di depan menuju kafenya yang ia tinggalkan kosong.
Kau memang tidak banyak berubah Bayu di saat kami sibuk memikirkan perguruan tinggi mana yang akan kami masuki kau hanya sibuk membesarkan kafe peninggalan orang tuamu. Saat kami menceritakan kelak ingin menjadi apa nanti, kau dengan bangganya berkata
           "Aku ingin membesarkan kafe ini. Lalu hidup sederhana bersama anak dan istriku."

*****
Mei, 2009
---------------

          Delapan tahun yang lalu, segera setelah ujian nasional berakhir, aku ke tempat ini. Deadalova Kafe. Kafe kecil milik keluarga Bayu. Bernuasa Retro, dengan beberapa barang-barang vintage menjadi pilihan pelengkap dekorasi kafe ini. Sangat menggambarakan karakter Ayah Bayu.
       "Ini pesananmu." Kau datang dengan membawa segelas teh hiajau pesananku. "Kau sedang apa? Menunggu Haris? "
Kau ingin aku menjawab apa? Jika kau ingin aku berkata sejujurnya, maka aku akan menjawab. Bukan aku sedang menunggumu.
         Aku mengangguk kala itu. Berbohong.
        "Sebentar lagi dia datang. Aku tadi bersamanya. Bagaimana ujianmu?" Katamu sembari duduk di sampingku.
         Kau tahu saat itu detak jantungku tak karuan. Pipiku memerah. "Baik."
Saat itu Aku merasa, itu benar-benar waktunya mengungkapkan rasaku padamu.
        "Bayu... " Aku terbatah. Saat itu aku merasa menjadi manusia paling gugu. Seoalah kehilangan semua suaraku. Padahal sejak datang ke sini, aku telah mengumpulkan kebaranian dan entah kemana perginya keberanian itu. "Ada apa?" Aku merasa tubuhmu semakin dekat, pipiku semakin memerah.
         "Kau terlalu dekat." Maafkan aku tak bisa mengatakannya Bayu.
Kau menggeser dudukmu "Maaf."
        "Eh.. Tidak apa."
        Kita berdua terdiam sejenak.
       "Jadi apa kau benar ingin kembali ke rumah Ayahmu? Aku yakin Nenek Rida akan merasa kesepian nanti."
Aku mengangguk. Aku tidak sediam itu biasanya.
       "Kau akan menetap di sana? "
Aku kembali mengangguk.
       "Apa kau memang harus ke sana?"
       "Iya. Kau tahu sendiri, aku sudah lama memimpikan kuliah di sana. Tempat itu adalah harapanku menwujudkan cita-cita."
        Kau tersenyum saat itu Bayu. "Kau dan Haris akan meninggalkanku sendiri di sini. "
        Aku mendapati matamu sedikit kecewa "Apa kau tidak ingin kuliah juga?"
        "Iya. Aku ingin membesarkan kafe ini. Lalu hidup sederhana bersama anak dan istriku kelak."
         Aku masih mengingat tatapanmu yang bagitu tajam saat itu. Sesaat aku merasa suasana begitu hangat.  Bisakah aku yang menjadi bagian dari mimpi yang kau ingin wujudkan.
        "Ahk, itu Haris!" Kau berdiri. Menggeser kursimu menjauh dariku.
Dari arah pintu masuk, Haris masuk. Tubuh tingginya nampak jelas dari sini.
        "Kamu di sini Runa."
Haris mendekat duduk di tempat Bayu tadi. Di sampingku.
          "Kau lama sekali Haris, Putrimu sudah menunggu dari tadi."
          "Maaf, aku singgah di toko dekat sekolah tadi. Aku membeli sesuatu untuk Runa. Any way aku pesan kopi hangat satu"
          Aku melirik ke arah Bayu "Ahk.. Maaf aku jadi lupa menawarkan menu padamu. Tunggu sebentar, ngobrol lah dengan tenang."
         Bayu berbalik. Meninggalkan aku dan Haris bedua saat itu.
Lima belas menit berlalu, aku sebisa mungkin mengendalikan suasana hatiku sekarang. Mencoba tersenyum lalu menanggapi apa yang di katakan Haris.
         "Ini untukmu" Haris menyodorkan kado berbentuk Hati.
         "Ini... " Sebuah kalung berbentuk sama seperti bungkusannya.
         "Aku mencintaimu Runa"
Akhirnya Haris menyatakan perasaannya padaku. Menarik tanganku. Menggenggamnya.
         Aku memalingkan mataku. Menyapukan mataku segala arah.
         Sadar Bayu menyaksikan sedari tadi.
        Bayu membalikan bandanya. Memalingkan wajah lalu berjalan menjauh. Aku menatap bahunya yang semakin tak terlihat.
-------------

      "Sudah, kau mau kemana?"
       "Ke pantai belakang sekolah"
       "Baiklah. Ayuk" Kau berjalan di depanku.

        Seperti waktu itu. Sekarang juga meskipun ada perasaan ingin berjalan beriringan. Aku terlalu takut menyampaikan. Hingga pada akhirnya aku hanya bisa menatap bahumu yang semakin mejauh. Semakin menjauh.

Musim di bulan mei, di lapang tempatmu tumbuh
hembusan angin, guguran daun kering bertiup
satu persatu lepas, satu persatu luruh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jalur 1023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang