Kesayangan Tuhan

2.9K 290 66
                                    

Setelah ia meyakinkan Rika, akhirnya satu malam ia dapat tidur menjaga Arzetha yang sampai pagi ini matanya masih tertutup.
Laki-laki itu menoleh ke arah jam yang tergantung di dinding yang menunjukan
pukul 7 pagi.

Lalu ia menoleh pada Arzetha dan jahil
mengatakan, “Selamat, pagi. Apa kamu terlalu lelah hingga harus terlelap sampai hari ini? Bangunlah, aku merindukanmu!”

Hatinya tidak bersunggung-sungguh mengejek tubuh yang tidak bisa mendengar apapun, ia hanya menghibur dirinya sendiri yang sedikit frustasi dengan kenyataan. Ia tahu hanya dinding putih satu ruangan ini yang
mendengar perkataannya.

Dengan mendorong motivasi dalam hati, ia bangkit dari sofa tempat ia terbaring, kakinya berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya, menyegarkan wajah dan pikirannya.

“Baiklah, ayo semangat!” ucap Gio sambil menepuk wajahnya yang basah terkena air segar. Ia pun keluar dari kamar mandi dan mencari dompet pada tas hitam yang ada di atas sofa untuk pergi ke kafetaria membeli beberapa
makanan dan minuman dan mengisi perutnya yang kosong sejak tadi malam.

“Tunggu disini, aku akan ke kantin.”

Gio berjalan dan hendak membuka pintu.

“Apa aku boleh menitip minuman dingin?”

Langkahnya terhenti saat mendengar suara itu dan membuatnya tertawa kecil. “Apa aku ini berhalusinasi? Aku belum makan satu hari dan menjadi gila?” tanyanya pada diri sendiri yang masih bergeming di depan pintu.

“Tega sekali! Aku ingin minum!”

Matanya membulat sempurna mendengar suara itu untuk kedua kalinya, ia segera membalikan badan.

“Arzetha?!”

Ia berlari cepat kepada Arzetha dan
menangkup wajahnya, memastikan bahwa ini bukan mimpi atau ia gila.

“Ini bukan mimpi?!”

“Aku tidak gila?!”

Gio masih tidak percaya. Arzetha yang lemas tertawa kecil.

“S-s-sejak kapan kamu sadar?”

“Tadi malam. Aku melihatmu tetapi tidak ingin membuatmu takut dengan diriku yang terbangun tiba-tiba,”

“Gio, bantu aku duduk.”

Gio segera membantu Arzetha untuk menyandarkan punggungnya dan memberinya minum. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini.

Bagaimana gadis ini bisa sadar dan berbicara padanya bahkan terasa seperti mimpi.

“Gio, apa aku boleh memelukmu?”

Dengan cepat Gio memeluk Arzetha.

“Selalu.” Gumam Gio.

Dalam dekapannya, Arzetha berkata, “Apa kau tau? Aku melewati mimpi yang panjang sendirian,”

“Selama ini, aku pikir sendiri itu sangat menyenangkan ternyata hatiku yang terdalam merasa i-itu menyeramkan, sangat menyeramkan. Aku sangat takut.”

Gio mengeratkan pelukannya. “Jangan takut lagi, sekarang aku bersamamu.”

Tangannya melepaskan tubuh gadis itu, ia memberikan senyumnya dan berkta, “Aku berjanji, tidak akan meninggalkanmu. Aku akan menjadi teman terbaikmu.”

“Janji?”

“Tidak, janji ini bukan aku ucapkan padamu tetapi aku telah berjanji pada Tuhan.”

Arzetha tersenyum, tatapannya sangat teduh menatap laki-laki yang bersungguh-sungguh dengan perkataannya.

Paint of pain, ArzethaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang