Bagi sebagian besar orang, masih terlalu pagi untuk berkunjung ke ruangan luas bersekat di dekat kantor dekan itu, tapi tidak untuk kamu. Bagimu, tidak ada yang lebih menyenangkan di awal tahun ajaran daripada melihat deretan buku yang belum diacak tangan-tangan tidak bertanggung jawab, atau membaca materi kuliah sementara teman-temanmu masih mengerang minta perpanjangan liburan.
Pintu perpustakaan berderit dan kamu menyelinap masuk. Kamu bertukar sapa sebentar dengan para bapak pustakawan, lalu menyimpan ranselmu (cokelat tua, hampir usang kelebihan beban) di loker (nomor 27, seperti biasa). Buku-buku yang masih rapi di rak seakan bernyanyi memanggilmu dan kamu menyahut dengan senang hati. Akhirnya kamu menemukan buku yang materinya mungkin akan dibahas dosen pertama kali. Lalu kamu mengayun langkah menuju ruang baca, mempertimbangkan keinginan untuk bersiul, mumpung kamu pengunjung perpustakaan pertama...
Tapi kamu salah, karena gadis itu ada di situ, di pojok baca favoritmu. Dia duduk membelakangimu, tapi tentu saja dia menyadarimu berdiri di sana. Bagaimana tidak? Aromamu menyesaki udara seperti tearose yang dikeringkan dan ketukan langkah kakimu mengiringi lagu yang dinyanyikannya dalam hati sejak entah-kapan...
Kamu mengenalnya, untunglah, karena gadis itu pasti sangat menderita kalau kamu tidak menyadari keberadaannya. Kamu mempertimbangkan untuk menyapanya, tapi kamu ragu karena dia tampak serius sekali menekuni apa pun yang dibacanya. Akhirnya kamu mengambil tempat duduk dua bangku di sebelahnya, dan menyapanya dengan 'hei' pelan.
Matanya melebar saat dia menoleh ke arahmu. Kamu pikir itu karena dia merasa terganggu, tapi kamu tidak tahu, dan tidak akan pernah tahu, betapa berartinya satu suku kata itu untuknya.
"Sori, sori. Baca lagi aja," kamu menangkupkan tangan di depan tangan, minta maaf.
Gadis itu sedikit menunduk, menatapmu malu-malu. Dia menggumamkan sesuatu yang kedengaran seperti 'nggak apa-apa', dan kamu pun tahu bahwa kamu dimaafkan.
"Pagi-pagi sudah datang ke perpus?" kamu berbasa-basi. Gadis itu tertawa ambigu, membiarkan kamu menerka sendiri apa arti tawa itu.
"Ada yang mau dibaca," gadis itu menjelaskan.
Tentu saja. Kamu melirik textbook tebal yang terbuka di depan gadis itu dan mengangkat alis. "Sip. Silakan dilanjutkan," ujarmu ramah sebelum mengalihkan perhatian pada buku yang kamu pangku sendiri. Lalu kalian berdua larut, layaknya kutu buku yang baik dengan buku kesayangannya. Kamu dengan text book berat yang kamu pilih, dan gadis itu dengan kamu.
Kamu? Ya, kamu! Kamu seperti buku favorit baginya, yang tidak akan bosan dia tekuni sampai kapan pun. Yang ingin dia baca dengan pelan-pelan dan hati-hati, sampai dia memahami setiap rangkaian kata, setiap abjad, setiap titik koma. Sampai dia mengerti benar kisah hidupmu; petualangan, kegembiraan, kesedihan... segala hal yang membentuk kamu menjadi kamu.
Dan kamu benar-benar seperti buku baginya, tahu. Adiktif.
Saat ini mungkin kamu merasa seseorang memerhatikanmu. Tapi ketika kamu mengedarkan pandangan, hanya kalian berdua yang ada di ruang baca itu. Dan kelihatannya gadis itu terlalu serius untuk memerhatikan hal selain bacaannya. Hanya perasaanku saja, begitu kamu berbisik pada dirimu sendiri.
Kamu harusnya lebih sering menganggap serius perasaanmu kalau begitu, karena ia berkata benar. Asal tahu saja, gadis itu masih membacamu sembunyi-sembunyi. Ia masih berusaha mengeja dan menerjemahkan kerut yang timbul di antara kedua alismu tiap kamu menemui konsep yang tidak kamu mengerti. Mengartikan tanganmu yang bergerak gelisah di depan mulut saat kamu berusaha mengingat-ingat apa yang sudah kamu pelajari di semester lalu. Terus mengikutimu saat kamu tersenyum dan menjentikkan jari, senang oleh kemenangan kecil saat kamu akhirnya ingat kembali dan mengerti. Dan gadis itu, layaknya kutu buku yang baik, merasakan kegembiraan yang sama.
"Hey!" tiba-tiba sebuah suara ceria membelah kesunyian ruangan. Kalian berdua mencelos, sama-sama tidak suka akan gangguan kecil yang menghalangi kenikmatan membaca ini. Namun ternyata sumber suara itu adalah seorang gadis berkaus merah yang sama-sama kalian kenal, jadi kalian balas menyapanya dan mengesampingkan rasa kesal yang tadi sempat muncul.
Sampai akhirnya gadis berkaus merah yang baru datang itu memutuskan untuk duduk di antara kalian berdua.
Ya, kamu mungkin tidak merasa apa-apa. Tidak banyak bedanya, bukan, duduk di sebelah siapa pun? Tapi untuk kali ini, gadis itu tidak berbagi perasaan denganmu.
Bayangkan kamu adalah seorang kutu buku yang sedang meresapi kisah di buku yang paling kamu sukai. Kamu sangat menghayati kisah itu, menikmati tiap detail yang muncul di imajinasimu. Tokoh pahlawan dalam kisah itu baru saja berderap ke dalam sebuah pertempuran akbar yang membuat hatimu lemah gemetaran...lalu seseorang menutup bukumu sehingga kamu tidak bisa meneruskan membaca.
Kira-kira itulah yang dirasakan gadis itu ketika pandangannya kepadamu terhalang. Apalagi kemudian kamu terlibat dalam pembicaraan yang begitu asyik dengan si gadis berkaus merah, yang memandangimu dengan penuh semangat. Seakan-akan kamu adalah buku best-seller baru bersampul plastik yang tidak sabar ingin dia baca.
Gadis itu menunduk dalam-dalam, lalu mendesah. Kamu adalah buku kesayangannya, dengan kisah dan latar belakang yang dijalin dengan begitu mengagumkan. Sebuah roman langka dengan kualitas yang lebih dari pantas untuk diganjar nobel sastra. Tidak mungkin kan kalau hanya dia yang menyukaimu? Pasti ada orang lain yang menghargaimu tinggi dan ingin membacamu juga. Ingin memilikimu, bahkan. Gadis itu tidak bisa menguncimu dalam sebuah lemari kaca dan menghalangi semua orang yang ingin membacamu walaupun dia ingin sekali, karena dia tidak memilikimu juga. Akhirnya gadis itu pun menggumamkan sebuah kata yang sering dikatakan para kutu buku yang baik setiap membayangkan kisah yang paling mereka sukai : seandainya. Ya, seandainya dia bisa membubuhkan nama dan tanda tangannya di lembaran pertama kisahmu, sehingga semua orang tahu kamu tidak bisa sembarangan dibaca lagi...
Namun toh nyatanya kamu belum jadi miliknya, jadi dia cuma bisa diam saja. Seperti pembaca setia yang hanya bisa terlarut dalam kisah, tapi tidak punya kuasa untuk mengubah kisah itu sesuai kehendaknya.
Sementara itu masih saja unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsikmu memesona semua orang dalam radius beberapa meter.
Gadis itu mendesah lagi. Lebih keras kali ini.
Kamu dan si gadis berkaus merah sadar bahwa gadis itu terganggu, walau untuk sebab yang salah. Kalian mengecilkan volume obrolan kalian, sementara gadis itu mengernyit dan sekuat tenaga memikirkan burung, donat, anak kucing, apa saja selain kecemburuan yang mencakar-cakar dadanya dari dalam.
Beberapa menit kemudian, kalian menyudahi obrolan karena si gadis berkaus merah pamit, mau sarapan dulu katanya. Perlahan tapi pasti, nafas si gadis mulai teratur lagi seakan-akan beban berat sudah diangkat dari pundaknya. Kamu melirik gadis itu dan bergumam menyesal, "Maaf ya, ribut ya tadi?"
Gadis itu menggeleng dan tersenyum. Dan kamu pun tahu bahwa kamu dimaafkan lagi.
Kamu membaca hingga akhir bab dan membuat review pendek di buku notes-mu, lalu melirik jam tangan. Sudah hampir jam setengah sepuluh? Tidak terasa sama sekali. Waktu memang berlalu lebih cepat kalau kamu menikmatinya. Sayang, sepuluh menit lagi kuliah mulai. Padahal kamu mau membaca sedikit lebih banyak lagi, seandainya ada tambahan waktu... tapi ya sudahlah. Kamu bisa meminjam buku ini untuk dibaca lain kali.
"Hei, mau ke kelas bareng?" kamu menawarkan pada gadis itu sebelum bangkit. Sebuah anggukan, lembut dan malu-malu, menyambut tawaranmu.
Kalian pun keluar dari pintu perpustakaan yang berderit dengan bacaan kesayangan didekap dekat ke hati, layaknya kutu buku yang baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pagi di Perpustakaan
Short StorySering kali, yang tersirat justru lebih bermakna daripada yang tersurat. Begitu pula bagi dua kutu buku ini, pada suatu pagi di perpustakaan. Bukankah perpustakaan adalah rumah bagi kata-kata, juga yang tidak tersampaikan?