Rivai x Eren

571 88 10
                                    

Deadline adalah sebuah kata yang dibenci sebagian orang. Rivaille salah satunya, terkadang. Otak jeniusnya entah mengapa menjadi sulit mengolah kata saat ini. Padahal biasanya ia tak memiliki kesulitan berarti, ini writer's block pertama yang ia alami.

Sore ini ia menghabiskan waktu luang di sebuah kafe yang berbau kopi. Tetapi, secangkir teh hitam tetap menjadi pesanannya. Laptop hitam polos di atas meja terbuka tak disentuh, disampingnya sebuah note kecil tercoret-coret tak berarti. Rivaille mendengus, bersandar pada kursi sambil bersidekap. Sorot pandangan yang tajam, namun lingkar hitam dikantung matanya tak bisa menyembunyikan tanda kelelahan.

Sepuluh menit ia menatap jalan yang di lalui orang-orang, tak sadar matanya terpejam. Rivaille sering sekali tak sengaja tertidur, dengan posisi yang sedikit tak nyaman bagi sebagian orang. Ia insomnia akut.

Saat tertidur pun, otaknya masih berpikir. Entah serasa mimpi, ia melihat seorang bocah lelaki bermata hijau sedang berpayung dibawah guyuran hujan deras. Payungnya juga berwarna hijau, si bocah menatap balik sekilas dan malah menurunkan payung hingga tubuhnya basah kuyup. Rivaille mengumpat, karena kebodohan si bocah atau karena ia tak bisa melihat wajah itu secara detail?

Lalu Hanji, sang Editor, tiba-tiba muncul dengan membawa segenggam kelopak mawar putih. Ia memberikan mawar tersebut dengan senyum yang menyeramkan. Tak sadar Rivaille mengernyit dalam tidurnya. Tangan yang memberi itu berubah menjadi tangan miliknya, kemudian menyerahkan sebatang bunga mawar merah pada bocah berpayung tadi. Rivaille mencoba melihat wajah itu dengan jelas, namun Hanji berisik sekali mengetuk sesuatu disampingnya. Rivaille menoleh untuk memaki Hanji,

lalu matanya terbuka jelas. Agak kemerahan karena bangun terpaksa. Ketukan berisik masih terdengar, Rivaille menarik napas kesal. Ternyata di luar, seorang bocah perempuan sedang mengetuk kaca disamping tempat duduknya. Rivaille terlalu malas untuk menegur, ia memilih menyeruput tehnya yang tersisa setengah cangkir. Tak lama bocah perempuan tadi pergi bersama ayahnya.

Rivaille menopang wajah dengan tangan kirinya, malas sekali karena ia masih belum mendapatkan ide untuk lanjutan tulisannya. Melirik ke luar, ternyata sedang turun hujan. Berapa lama ia tertidur? Rasanya hanya lima menit. Jemari lainnya menari diatas kertas note kecilnya, corat-coret lagi.

Seperti adegan drama klasik, Rivaille tak sengaja melihat seorang bocah lelaki yang sedang menawarkan jasa payung pada orang-orang di luar kafe tempatnya berdiam. Beberapa bocah lainnya ikut menawarkan, tapi bocah satu itu yang paling bersemangat. Mata hijau si bocah tak bisa lepas dari pandangannya, Rivaille terpaku meski bocah itu tak melirik sama sekali. Entah dasar sihir apa, pria berusia 30 tahun itu lancar menulis kata-kata yang spontan muncul dipikirannya.

Selesai menulis, ia tersenyum kecil membaca ulang tulisannya.

"Tidak buruk."

Dirobeknya selembar kertas berisi tulisannya tadi, lalu segera merapikan barang-barangnya. Ia menyeruput habis sisa tehnya lalu keluar dari kafe tersebut. Bocah-bocah tadi langsung menyerbu menawarkan jasa payung, tak terkecuali bocah incarannya tadi.

"Dasar bocah berisik."

Desisnya jengah, membuat bocah-bocah itu terdiam. Tanpa bicara lagi Rivaille langsung berdiri dibawah payung berwarna hijau, si bocah incarannya memayungi dengan gestur kaku.

"M-mau saya antar kemana, Sir?"

"Antarkan sampai pinggir jalan raya di depan. Carikan saya taksi."

"Siap, Sir."

Rivaille berjalan dipayungi si bocah, tetapi si bocah itu pasrah tubuh kurusnya dihujani begitu saja. Tanpa pikir panjang Rivaille merangkul bahu si bocah, bermaksud mengajaknya berlindung bersama dibawah payung.

"Jangan hujan-hujanan. Kau bisa demam."

"Hm, terima kasih, Sir."

Perjalanan pendek mereka berakhir. Sebuah taksi sudah berada di pinggir jalan menunggu penumpang. Rivaille berhenti di depan pintu taksi, mengambil dua lembar uang pecahan dari dompetnya untuk bayaran si bocah. Tak lupa ia selipkan selembar kertas tulisannya tadi. Si bocah menggengamnya sambil berterima kasih, Rivaille masuk ke dalam taksi.

Tak ada sepuluh detik, jendela taksi terbuka. Si bocah tak jadi berbalik.

"Oi, bocah. Siapa namamu?"

"A-aku? E-eren. Eren Jeager, Sir."

"Eren, aku menulis sesuatu untukmu. Tak ada maksud apapun, kau bisa menganggap itu hanya tulisan iseng. Bacalah, kau boleh membuang kertas itu setelahnya. Sampai nanti."

Si bocah hijau terdiam karena tak mengerti maksud ucapan pria tadi. Taksi sudah berjalan menjauhinya. Uang dua lembar dan satu lembar kertas berada di genggaman tangannya. Perlahan ia membuka lipatan kertas itu, menahan payung dengan bahu dan dagunya agar tak kehujanan.

Jemari;
hujan sore hari.

Payung hijau,
jendela berembun,
harum mawar menyapa mimpi.

Bersenandung,
angin berbisik,
bagaimana agar dapat melihat tawamu?

Rintiknya,
tiap kali bersentuhan,
aku ingin selalu berada disisimu.

-Rivaille-

Eren mengernyit bingung. Entah ia harus berekspresi apa setelah membaca tulisan itu. Tetapi ia melipat lagi kertasnya dan menaruh dikantung celana bersama uang yang ia dapat.

"Akan ku tanyakan pada Armin arti tulisan tadi."





END.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 21, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Green Umbrella [RiRen Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang