6. Car Talk

9.2K 1.1K 7
                                    

"Alhamdulillah~" seruku saat mendengar adzan di radio mobil milik Kafka yang sekarang sedang terjebak macet. Iya, hari ini Kafka kembali menawari tumpangannya kepadaku dengan alasan takut aku kenapa-kenapa. Padahalkan, pulang sama dia bikin aku kenapa-kenapa, ya ngga sih? Kalau aku sih iya, habis yang gini-gini nih bikin baper.

Aku langsung mengeluarkan botol mineral yang tadi sempat aku dan Kafka beli karena tahu pasti kami akan buka puasa di jalan.

"Kaf, kok cuma satu sih airnya? Lu ngga ngambil dua ya?" tanyaku pada Kafka, karena seingatku tadi ada dua di keranjang tapi sekarang di plastiknya cuma ada satu.

"Ya mana gue tahu, gue kan tinggal ngeluarin duit doang."

Ah iya, benar juga ya si Kafka.

Dengan penasaran, aku kembali mengambil struk belanjaan yang sudah aku remas-remas itu.

"Kaf, ini kok di struknya juga satu ya? Gue ambil dua kok, bener deh." aku menunjukkan struk itu pada Kafka. Dan sekonyong-konyong dia langsung membuang struk itu ke bawah.

"Ngga penting debatin air mineral. Mending batalin puasa dulu aja."

"Tapi cuma a--"

"Yaudah, gue minum minuman kopi aja. Beli kan tadi?" katanya yang memotong ucapanku.

Aku masih tak bergerak.

Masing bingung, itu air mineral yang satu lagi ke mana ya?

Diambil setan kah? Ah katanya kalau bulan puasa setan pada dikurung.

Jadi, ke mana itu air????

"Gaia~ mana kopi gue?" tanya Kafka yang masih fokus menyetir. Melajukan mobilnya dengan kecepatan 10m/s.

"Goblok ya lu? Buka puasa kok minum kopi? Nih batalin dulu." aku memberinya botol mineral itu pada Kafka, namun terlebih dahulu aku membuka tutup botolnya.

"Lu?"

"Gantian lah, bego."

"Yaudah lu dulu aja."

"Gue lagi sakit nanti lu ketularan. Lu dulu aja."

"Lu."

"Kaf~"

"Yaudah sih Gai, emang kenapa kalau ketularan. Penyakit lu ngga bikin mati kan?"

Yaudah, aku kalah.

Aku langsung baca doa dan minum air itu. Setelah itu, aku memberikannya pada Kafka.

"Cokelat atau keju?" tawarku sambil menunjukkan dua roti sandwich yang tadi kami beli.

"Keju~" kata Kafka. "Bukain tapinya."

"Nih." aku memberikan roti keju yang plastiknya sudah aku buka ke Kafka.

"Thanks, Gai."

Aku mengangguk.

Kini, mobil yang dilajukan Kafka kembali berhenti karena macet. Sebenarnya pulang kantor jam segini dengan mobil itu bukan ide yang bagus, tapi yaudah lah ya udah kejadian juga.

"Kaf~"

Kafka hanya berdeham.

"Gue dijodohin."

Satu,

Ngga ada respon.

Dua,

Masih sama.

Tiga,

Lah, dicuekkin.

"Kafka~ gue dijodohin Kaf, dijodohin sama orang yang ngga gue kenal." kataku hiperbola berharap Kafka akan meresponnya.

"Ya, terus?"

Bajingan.

Gini doang responnya.

"Nanti kalau gue ni---"

"Yaelah Gai, belum tentu juga kan yang dijodohin sama lu itu mau nikah sama lu?" katanya sambil tertawa kencang.

Iya sih, tapi kalau emang dia beneran serius gimana?

"Ya kalau dia emang benar-benar. Harusnya lu senang lah Gai, orang aneh binti langka kaya lu ada yang mau. Gue kalau jadi lu sih, sukuran."

Benar-benar ya. T e m a n, OH t e m a n.

"Ya tapikan enakkan nyari sendiri, Kaf. Kalau misal dia makan pasta pakai nasi gimana?"

"Kalau dia makan pasta pakai nasi, apa kabar sama lo yang suka makan sop bening pakai kecap?"

Ah, tahu ah. Capai ngomong sama Kafka mah. Dibalikkin semuanya.

"Lah, malah diam nih bocah." katanya sambil mengacak rambutku.

Aku masih diam.

"Gini ya Gayatri Hutami anaknya Bapak Rudi dan Ibu Tami. Anggap aja dijodohin tuh cuma kayak ortu lu dan ortunya dia ngenalin kalian berdua, karena siapa tahu setelah kalian mengenal kalian bisa jatuh cinta dan mau menikah. Jadi ngga usah dibikin ribet, toh lu atau dia juga bisa menolaknya kan?" kata Kafka sambil menatapku.

Aku masih diam, tapi diam-diam aku juga mengangguk tanda setuju dengan ucapan Kafka.

"Kaf~"

"Ya?"

"Masih lama, ya? Gue ngantuk, gue tidur ya? Nanti bangunin kalau udah sampai."

High HopesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang