Hurt

817 93 12
                                    

Tubuhnya terasa terbakar dengan sangat panasnya. Setiap sel di dalam tubuhnya menjerit kesakitan karena berusaha menghentikan proses regenerasi yang terjadi setiap harinya. Melawan garis takdir yang sudah ditentukan alam.

Ingin sekali ia membuka matanya lalu berteriak sekencang-kencangnya untuk dapat memberitahu siapa saja jika ia saat ini sedang kesakitan, tapi semua itu tidak bisa ia lakukan. Mulut dan matanya seperti terkunci rapat untuk tidak membuka sedikit pun.

Tidak hanya mata dan mulutnya, tubuhnya juga seperti terbelenggu oleh sesuatu yang sangat kuat. Tidak bisa digerakkan sama sekali, sekuat apapun ia memberontak. Semua usahanya sia-sia. Ia menderita sendirian, kesakitan sendirian, dan menjerit pun ia sendirian di dalam tubuhnya sendiri.

Entah sudah berapa lama ia tenggelam dalam kesakitannya itu, karena ia merasa dimensi waktu berjalan dengan lambatnya saat ini. Semakin lama waktu berjalan, semakin sakit pula tubuhnya. Napas teraturnya berubah menjadi cepat seakan paru-parunya tidak mendapat pasokan udara sama sekali.

Ia bisa merasakan debar jantungnya yang bepacu sangat cepat pula, seakan memaksa jantungnya untuk memompa darah lebih banyak lagi guna mendinginkan setiap organ dalam tubuhnya yang kepanasan. Lama-kelamaan ia merasa jantungnya seperti diremas dengan sangat kuatnya. Ya Tuhan sampai kapan ini akan berakhir? Gumamnya saat ia merasa sudah tidak kuat lagi menahan semuanya.

Kegelapan yang sedang menyelimutinya semakin bertambah pekat saja. Tubuhnya sudah tidak peka akan keadaan sekitarnya karena seluruh fokusnya sudah tercurah pada rasa sakitnya. Hingga pada suatu detik, kepalanya serasa akan pecah karena tidak adanya pasokan oksigen dan darah yang mengalir.

Napasnya sudah tersengal, dan beberapa bagian tubuhnya seperti mati rasa. Ia sudah pasrah akan keadaannya. Detak jantungnya yang cepatpun perlahan-lahan mulai berhenti berfungsi. Begitu juga dengan paru-parunya. Tapi rasa panas seperti terbakar sesuatu masih terasa di tubuhnya. Mungkin inilah akhir dari penderitaannya.

Sesuatu tiba-tiba mengoyak kulit lehernya, lalu sebuah cairan mengalir di tubuhnya membuat rasa panas itu berangsur-angsur menghilang tanpa bekas. Entah apa yang telah dimasukkan ke dalam tubuhnya itu, yang pasti ia sangat bersyukur. Seakan ia menemukan sebuah oase di tengah padang pasir, kesejukkan pun terasa di tubuhnya. Rasa sakit akan koyakan di jaringan kulitnya itu pun menghilang dengan sendirinya.

Tubuhnya terasa lebih segar daripada sebelumnya, padahal beberapa detik yang lalu ia masih berkubang dalam rasa sakitnya yang seperti dikuliti hidup-hidup. Ia memang tidak bisa merasakan lagi detak jantungnya, tapi tubuhnya terasa lebih sensitif akan keadaannya.

Panca indra yang dimilikinya berfungsi melebihi sebelumnya. Bahkan ia bisa mendengar suara sekecil apapun itu dan dapat memperkirakan dari mana asalnya. Tidak hanya itu, indra penciumannya berfungsi lebih tajam, karena ia bisa mencium sesuatu yang terasa nikmat tapi seingatnya ia belum pernah mencium aroma ini semasa hidupnya.

Bagian-bagian tubuh yang awalnya tidak dirasakannya, kini bisa dirasakannya lagi. Semuanya terasa ringan seperti tidak bisa bermassa sama sekali. Ia mencoba untuk membuka matanya. Hal pertama yang dilihatnya adalah serat-serat halus yang terdapat di kelambu tempat tidurnya. Jalinan benang-benang merah itu terlihat jelas di penglihatannya. Bagaimana bisa?

"Akhirnya kau sudah bangun." Ucap sebuah suara lembut yang begitu menggema di gendang telinganya padahal ia yakin orang yang tengah berbicara itu tidak sedang berteriak padanya. Dengan kening berkerut, ia menolehkan kepalanya.

Siluet tubuh yang begitu indah terlihat tengah berdiri di luar kelambunya. Belum sempat ia menjawab panggilan tersebut, sosok tubuh itu sudah berdiri di dalam kelambunya dengan senyuman yang paling menawan yang pernah dilihatnya. Wajah rupawan yang terpahat sempurna membuatnya bergeming di tempat tidur sambil memandangnya.

Saat manik mata mereka bertemu, kesadaran pun menghantamnya membuat ia tanpa sadar menarik napas sebanyak mungkin tapi yang dirasakannya hanya kehampaan semata. Tidak ada oksigen yang masuk dan keluar dari hidungnya namun ia juga tidak merasa sesak sama sekali. Sesaat ia kembali memandangi iris mata semerah darah yang membawa perasaan takut tapi juga terpesona dalam satu waktu bersamaan itu.

"Kau juga memilikinya," bisiknya tapi terdengar sebaliknya.

"Ikut aku," tarikan halus itu membuatnya bangkit seketika dari tidurnya tanpa banyak mengeluarkan tenaga. Hanya sepersekian detik, mereka sudah berdiri di depan sebuah cermin besar di sudut ruangan padahal ia merasa baru saja melangkah.

Bayangan yang tercetak di cermin itu membuat tubuhnya membeku seketika. Sosoknya berubah menjadi seseorang yang tidak dikenalnya, tapi ia tahu jika itu adalah dirinya. Sesuatu telah berubah dalam dirinya, dan ia tahu perubahan itu tidak akan membuatnya kembali menjadi seperti dulu.

Otot tubuhnya tercetak jelas, padahal sebelumnya ia selalu bertindak tak acuh akan bentuk ototnya. Rambut hitamnya jatuh menutupi keningnya. Satu hal yang membuatnya mengernyitkan keningnya, iris matanya tidak lagi berwarna hitam pekat, tapi berwarna merah darah yang terlihat sangat menakutkan bagi siapapun yang memandangnya.

Suara kekehan ringan membuat ia mengalihkan tatapannya guna menatap sosok cantik di belakangnya. Mereka kembali bertatapan lewat cermin itu selama beberapa menit sampai sebuah tangan kecil melingkar di pinggangnya.

"Kau menyukainya?" karena ada jawaban sama sekali membuatnya kembali melanjutkan ucapannya, "Kau ingat janjiku satu bulan yang lalu? Kita berjanji untuk saling memiliki selamanya, dan aku sudah menepatinya di hari ulang tahunmu yang kedua puluh lima tahun ini. Seperti keinginanmu, keabadian ini adalah kado dariku."

Setelah mengatakan itu ia melepaskan pelukannya, lalu membalikkan badannya untuk menatap manik mata yang sama dengannya itu. Pancaran kebahagiaan tercetak jelas di wajahnya, dan sekarang ia ingat semuanya.

"Selamat ulang tahun, Byunnie. Aku mencintaimu," ujarnya sambil mengecup lembut bibir yang sedang tersenyum ke arahnya itu.

"Aku juga mencintaimu," Itulah kata pertama setelah ia berubah menjadi sosok lain seperti kekasihnya.

Jika ada yang bertanya apakah ia menyesal telah berubah dan mengalami kesakitan yang luar biasa sebelumnya? Maka jawabannya adalah tidak, karena semuanya terbayar dengan keabadian yang tidak dimiliki makhluk hidup lainnya. Keabadian yang begitu diinginkannya karena akan membawa ia ke dalam keabadian lainnya sebelum masuk ke alam keabadian yang diciptakan Tuhan.

The End

ImmortalWhere stories live. Discover now