SEMBILAN

9.6K 1K 11
                                    

Tuhan selalu tepat menentukan takdir.

|•|

Alona. Wanita itu tidak bisa melakukan sesuatu, apa pun, untuk saat ini. Dirinya masih terpaku pada dua garis merah yang ia genggam stik-nya. Kenyataan memberikan kejutan bagi dirinya. Dia bahagia, bahwa akan ada anggota keluarga yang ia miliki. Tapi disisi lain, Lona masih ketakutan.

Mas Awan pasti bisa menerima ini, kan?

Tidak akan pernah ada jawabannya, jika Lona masih berdiam diri di sana. Dia penasaran, tapi terlalu takut jika Awan memberikan ekspresi kecewa. Apalagi saat Lona pernah menanyakan, apa yang akan pria itu lakukan jika Lona hamil, tidak pernah dijawab dengan pasti.

Dia pasti bisa nerima, kan? Ini anaknya, darah dagingnya. Dia pasti luluh.

Tanpa sadar, Lona sudah menyusut air matanya saja. Bahkan belum menghadapi apa-apa, dia sudah menangis haru.

Lona juga wanita yang berpikir matang. Dia tidak akan gegabah memberitahu Awan mengenai kehamilannya. Dia akan bungkam, setidaknya untuk sementara waktu. Agar Awan pun bisa dibujuk oleh pembicaraan-pembicaraan bersama Lona.

Lona begitu sadar, dan akan menyimpan kabar ini untuk dirinya terlebih dahulu. Disimpannya benda pipih tersebut, supaya tidak ada satu pelayan pun yang tahu. Jika salah langkah saja, mungkin Attar akan melaporkannya pada Awan, dan Lona belum siap menjelaskan semuanya pada pria yang ia cintai itu. Karena sejauh ini, hubungan yang dilakukan Awan dan Lona terbilang aman.

Kini, cintanya memang terbagi. Untuk Awan dan untuk malaikat kecil yang bersemayam dirahimnya. Tidak apa, kan jika merayakan kebahagiaan sendiri? Dan memang Lona melakukan itu.

"Kamu hadir, Nak. Akhirnya...," lirih Lona.

Kebahagiaan inj tidak akan bisa dibagi dengan apa pun. Mendapati dirinya akan melahirkan replika perpaduan antara dirinya dan Awan, jelas membuat Lona bahagia.

"Nyonya ingin ke luar?"

Memdapati Lona yang sudah rapi, membuat Attar langsung bertanya.

"Iya. Jalan-jalan di taman sekitaran perumahan, nggak apa-apa, kan?" tanya Lona.

"Ya. Saya temani kalu begitu."

Tanpa dikatakan pun Lona sudah tahu kalau Attar akan mengikutinya ke mana pun.

Bicara soal Attar, Lona masih agak bingung bagaimana caranya mengajak Attar agar tidak berkomunikasi secara formal. Waktu itu sempat Lona ajak ber-aku-kamu, tapi ternyata Attar masih saja baku. Mau tidak mau Lona kembali membuat percakapannya menjadi saya-kamu, dan Attar tentunya menggunakan panggilan "Nyonya" terus menerus.

"Tidak menggunakan mobil, Nyonya?" Attar menaikkan suaranya, karena Lona yang sudah terlebih dulu berjalan. Meski pelan, jika menunggu mobil ke luar dari bagasi juga pasti jarak Lona sudah lumayan jauh.

Lona menoleh, menggeleng pelan. "Nggak, Ar. Jalan kaki aja!" balas Lona juga berteriak.

Attar agak kelimpungan membagi fokus pada Lona dan mobil, yang pada akhirnya juga Attar berlari kecil mendekati Lona, dan mengimbangi langkah wanita itu. Setidaknya Lona senang, Attar tidak berjalan di belakangnya lagi.

EVERY ROSE HAS A THORNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang