Nightmare 139: Nisan Berbalut Kafan

100K 4.6K 2K
                                    

ini emang cerita lama, tapi siapa tau ada yang belum baca.

cr: http://bonsanz.blogspot.co.id/

####

Mudik tahun ini aku kembali ke kampung. Biasalah, ketika orang menyebut pemuda Jakarta, hal yang dipikirkan oleh orang kampung adalah sesosok 'cling-cling' yang gayanya kekinian. Tapi maaf saja jika mereka kecewa melihat penampilanku yang tetap ala kadarnya.

Yah, memang beginilah sebenarnya. Mencari pekerjaan di Jakarta tidak semudah yang orang-orang kampung impikan. Belum saingan dengan mahasiswa yang pintar dan pandai berbicara. Uhh, rasanya ingin sekali aku kembali mengurus sawah di kampung.

Namun apa daya, harapan ibu sudah terlalu membuncah, dan memang uang yang kuhasilkan lebih banyak daripada memanen sayuran. Langsung saja pada hari pertama kedatanganku ke kampung.

Saat mobil ini melaju dan pantat sudah mulai terasa keram, aku melihat-lihat pemandangan di luar. Deretan hijau sawah-sawah dihiasi cokelat tanah pematangnya, adalah hal pertama yang menyambut mata ini, berusaha agar betah melihatnya. Mobil tua ini tidak lagi memiliki AC, maka dari itu aku dapat merasakan udara dingin nan segar yang menerpa wajah kala menoleh ke luar.

Segar.

Sesuatu yang kurindukan saat di Jakarta--yang ketika hujan pun masih bisa mengecap debu jalanan.

Lalu deretan sawah mulai berganti. Dari hijau muda ke hijau yang lebih tua--hutan. Di depan hutan itulah, aku melihat seorang ibu tua berbalut baju kain khas kampung kami, sedang menyapu halamannya.

Tapi bukan itu yang menarik perhatianku.

Di samping ibu itu, tepat di halaman rumahnya, terdapat sebuah kuburan yang batu nisannya dibalut kain kafan lusuh.

Aku hanya bisa melihat sedikit karena laju mobil yang dikendarai Pak Rahmat--paman dari pihak ibuku--sudah tak sabar sampai di tujuannya. Tapi aku yakin. Aku sangat yakin. Bahwa nisan itu dibalut oleh kain kafan.

Sontak aku bertanya kepada pak Rahmat.

"Itu nisan kenapa, Pak? kok dilapis kain kafan begitu?"

Dari kaca spion, aku yang duduk di jok belakang dapat melihat bahwa Pak Rahmat melirik sedikit ke arahku, namun tak sepatah kata pun meluncur dari bibirnya yang kehitaman akibat banyak menghisap rokok.

"Pak?" tegasku lagi.

"Sudah. Ndak usah dibicarain. Omong-omong gimana? Udah dapet cewek ga di Jakarta?"

Alih-alih menjawab pertanyaanku, beliau malah bertanya hal lain dan membuatku jengah.

Aku membalas perbuatannya dengan memalingkan muka ke jalanan dan tidak menjawab hingga kami tiba di rumah ibuku. Jadi ada suasana kaku di antara kami. Tapi aku makin penasaran.

***

Setelah sambutan heboh di sore hari dan suguhan makanan yang membuat tubuh ini terasa bugar kembali, aku berniat mandi sebelum matahari benar-benar tenggelam.

Kuperhatikan ibu yang sedang menjahit kancing lepas di baju milik ayah dan sesekali tersenyum saat melakukannya. Gurat halus di wajahnya menandakan permintaannya kepadaku selaku anak tunggal untuk membantu kondisi keuangan di keluarga kami.

Tapi bukan masalah uang yang mengganjal pikiranku, melainkan hal yang kulihat tadi siang.

Segera saja kutanya ibu tentang nisan di rumah di depan hutan itu, namun yang kudapat adalah ekspresi murung bercampur cemas khas ibu yang mirip ketika aku berkata ingin naik ke atap membetulkan antena ketika remaja.

CreepypastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang