Bagian 2 [Revised]

24 4 1
                                    

Setelah mengetuk dua kali ruangan klub majalah, Cameron langsung masuk saja, mengantri.
Tak banyak orang yang berada di dalam, hanya anak-anak extra majalah, dan satu dua siswa yang sudah berdiri untuk mengantri atau sekedar mengamati ruangan ini.

Ruangan ekstrakurikuler majalah berada di ujung lorong, dekat dengan ruang organisasi lainnya, disebelah ruang ekstra majalah, berdiri tangga yang akan membawa ke laboratorium biologi.

Ruangan ini tidak terlalu luas, hanya seluas beberapa puluh meter persegi saja, di dalamnya terdiri dari lemari berkaca gelap yang berdiri di sisi barat ruangan, sebuah meja kayu yang sekarang digunakan untuk mencatat administrasi majalah, serta beberapa kursi yang tersebar acak di dalam ruangan yang telah terisi oleh beberapa pantat siswa yang mendudukinya.

Berdiri menjulang dengan tinggi yang lumayan buat daftar taruna, membuat beberapa siswi memperhatikannya, mungkin heran, tak biasanya dia berada di antara mereka.

Mungkin dia lebih pantas berada di air, atau kadang berjemur di tepi air, Yap, seperti sejenis binatang reptil berdarah dingin yang kerap di kiaskan seperti cowok yang suka gonta-ganti cewek, padahal mah binatang aslinya setia banget, payah nih manusia, suka meng-kambing hitamkan aja.

Cowok itu menyingkir ke sisi ruangan, dimana ada kursi stainles, mendudukinya sambil mengucek sudut-sudut matanya. Menghempaskan sisa sisa setan yang mungkin masih tersisa.

Kampret.

Tak berapa lama, ruangan majalah mulai dipadati dengan perwakilan siswa siswi dari berbagai kelas yang memiliki tujuan yang sama dengannya.

Meski sudah ada kipas angin yang meliuk liuk di sudut dan di meja sekretariat, tapi ruangan ini masih panas juga. Serasa masuk microwave jumbo.

Cameron berdiri setelah melihat tempat awal dia berdiri telah di tempati oleh orang lain, tak mau berlama-lama di ruangan ini, dia mencoba mengambil tempat asalnya kembali, sedikit menjejalkan badan bongsornya diantara dua orang yang tengah mengantre.

"Wiss, antri dong, mas" ujar cowok yang mengambil tempatnya, badannya terdorong ke belakang dan menimbulkan beberapa orang yang mengantri mendumel karena ada yang menyerobot antrian.

"Oh, gue daritadi disini, cuman duduk disana aja bentar" Cameron menanggapinya dengan malas.

Dirinya melongok sebentar ke  kerumunan di belakangnya yang masih mendumel, beberapa siswi yang sepatunya terinjak memekik dan tak hentinya merajuk, mengganggu indra pendengarannya.

Bodo amat.

Sudah tersisa dua orang di depannya dan dia akan terbebas dari sini.

Dua antrian berjalan cepat dan dia segera mengambil ballpoint di meja dan menggoreskan tanda tangan tepat di kotak samping nama kelasnya.

Seorang siswa di balik meja sekretariat mengangsurkan se gepok majalah yang telah terikat rapi dengan tali rafia merah, tangan mungilnya berkeringat ketika Cameron menyentuh tali yang baru saja dia pegang.

Tanpa pamit, pemuda itu melangkahkan kakinya keluar ruangan yang terasa sesak, perlu beberapa dorongan keras ketika dia berada di ujung ruangan. Banyak siswa siswi yang memadati jalan udara terbesar satu-satunya agar hembusan angin dari luar ruangan bisa membantu menyejukkan.

Pantes. Kesumbat para ahli neraka ternyata.

Cowok itu menenteng tumpukan majalah yang telah di jilid menjadi satu dengan tali rafia, membawanya dengan satu tangannya sementara satu tangannya lagi sibuk mengetikkan pesan untuk seseorang di seberang sana.

Jemari tangan kirinya mengetik cepat, dengan sesekali, matanya memperhatikan langkah yang dia ambil.

Kecuali saat ini. Ketika netra nya menangkap figur seseorang.

Tidak memberikan balasan pada pesan yang baru saja tiba di ponselnya, tangannya segera memasukkan ponsel ke saku celana, langkahnya semakin cepat dengan sudut bibirnya yang terangkat.

Owh, betapa dia merindukannya.

"Oi!!!" Suaranya yang khas membuat figur yang tengah berjalan sambil membawa lembaran kertas itu berhenti sejenak. Sementara langkah Cameron semakin ringan menuju tujuannya, meski majalah yang ia tenteng tidaklah ringan.

Tahu seseorang yang tengah membawa majalah datang menghampiri, dirinya mengumpat pelan, dia hafal wajahnya, sangat, dan bagusnya, dia tidak mau berurusan dengannya saat ini, kalau bisa hingga nanti akhir hayatnya.

Tapi semesta bekerja sesuai job desk nya, dan harapan manusia yang berdiri di samping pot semen yang telah terisi bunga kamboja ini sama sekali tidak berada di urutan job desk semesta.

Dia berjalan meninggalkan posisinya yang semula berada di samping pot, setengah berlari, sambil merutuki larinya yang berlari tak secepat flash.

"Buru-buru banget" lupakan usahanya yang baru saja dia lakukan, percuma, kalau dia sudah terlihat, jangan harap dia bisa kabur dari Cameron.

Sial, hari ini akan terasa semakin panjang baginya.

Cameron berdiri sambil bersedekap dada, majalah yang semula dia bawa sudah dia lempar ke dada cowok di depannya.

Diyan. Atau kerap disapa Iyan.

Cowok itu menatap majalah yang baru saja di lemparkan padanya, cukup untuk membuat nyeri di dada, apalagi ujung majalah yang terhimpun itu menghantam tulang rusuknya keras.

Bedebah ini.

"Semalem kemana Lo?" Cameron bertanya, tidak ada bentakan, tidak pula dengan nada yang ramah. Nadanya netral dengan wajah yang sedikit mendongak pongah. Sementara lawan bicaranya hanya menatap malas majalah yang berada di lantai, kakinya gatal ingin menendang majalah sialan ini, tapi yang paling sialan disini adalah Cameron.

Tidak ada yang paling di benci Iyan selain cowok bongsor dengan tulang hidung tinggi dan tatapan mata yang merendahkan.

Hidungnya kembang kempis menahan emosi yang ingin dimuntahkan saat ini juga.

"Muak gue sama Lo, minggir!" Diyan menendang majalah yang teronggok di depannya, majalah itu meluncur ke samping dengan lancar, Cam hanya tersenyum singkat.

There For You (Camdal+Maggs)Where stories live. Discover now