“Sampai kapan kita harus berlari?”
“Sampai kakimu lepas.”
Kouhei terdiam dan melanjutkan lari kecilnya. Hari itu adalah hari pertama latihan klub karate, dan semua anggota baru harus berlari mengelilingi sekolah untuk pemanasan. Mereka memang tidak diharuskan berlari serius, cukup berlari kecil, tapi itu semua sudah berlangsung selama satu jam terakhir.
Bukannya Kouhei mengeluh lelah, tapi ia tidak bisa berhenti mengkhawatirkan kondisi ibunya yang sedang istirahat karena flu di rumah. Kegiatan klub akan berakhir setengah jam lagi, tapi ia tidak merasa bisa menunggu lebih lama.
Sudah beberapa kali ia berusaha bicara pada seniornya, tapi ia tidak pernah mendapat kesempatan. Ia berhenti berlari dan memegangi pagar pembatas lapangan, berusaha mengatur napasnya. Kalau ia pergi sekarang, mungkin tidak akan ada yang menyadarinya.
Tidak mungkin.
Sebagai anggota baru, justru inilah saat-saat mereka paling diawasi. Para senior pasti akan menemukan kesalahan apapun yang diperbuatnya, dan ia bisa kena masalah hanya karena kesalahan kecil.
Tapi ini kan masalah serius. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada ibunya selama ia belum pulang?
Mungkin ia kelewat khawatir, tapi dengan riwayat penyakit yang diderita ibunya selama ini, bagaimana ia bisa tidak khawatir? Awalnya ia bahkan bermaksud untuk tidak menghadiri latihan ini, tapi ia selalu berusaha memberitahu dirinya kalau flu kali ini bukanlah apa-apa.
Sekarang, kurang-lebih satu jam kemudian, ia malah menjadi semakin khawatir. Mungkin sejak awal ia hanya membohongi dirinya sendiri. Mungkin seharusnya ia tidak perlu ikut latihan ini.
“Lamban.”
Kouhei langsung mengangkat wajah begitu mendengarnya, tepat saat sosok lain berlari melewatinya.
Sosok itu berambut pirang dan mengenakan pakaian latihan klub karate yang sama dengan yang dikenakannya. Ia menoleh sedikit ke arah Kouhei sambil tetap melanjutkan larinya.
Tentu saja Kouhei tahu siapa pemuda tersebut; Shibazaki Kaname. Sejak tahun ajaran baru, sudah banyak bisik-bisik gosip di antara para murid mengenai siswa berambut keemasan tersebut.
Bagaimana tidak? Selain karena mereka satu kelas, rambut pirang dan mata biru gelap jelas bukan sesuatu yang biasa dimiliki seseorang dengan nama seperti Shibazaki Kaname. Ditambah lagi, bahasa Jepang pemuda itu amat bagus, lengkap dengan logat utaranya yang cukup kental—walaupun yang bersangkutan jarang bicara.
Karena tidak tertarik, Kouhei tidak pernah dengar ceritanya lebih detail, tapi bukan berarti ia sama sekali tidak mendengar gosip-gosip yang bertebaran. Yang paling sering dibicarakan adalah kalau pemuda bernama Kaname itu meluruhkan warna rambut aslinya dan mengecatnya karena ikut kelompok yakuza.
Bukannya ia peduli pada gosip-gosip tersebut, tapi apa maksudnya pemuda itu mengatakan hal tersebut padanya? Ia tidak punya masalah pendengaran, jadi ia cukup yakin akan apa yang didengarnya. Yang ia tidak yakin adalah alasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Out of Eden
Teen FictionAwalnya mereka hanya dua orang yang kebetulan tinggal dan bersekolah di tempat yang sama. Lalu mereka bersahabat begitu tahu kalau mereka memiliki suatu kesamaan. Tapi, sekarang... Inspired from Kagamine Len's song; "Out of Eden" Art & charactersⓒ M...