Erris sudah berdiri di depan rumah, dengan Honda Jazz putih yang parkir di depan pagar.
Menunggu dengan tidak sabar sambil menunjuk jam tangannya.
Sedangkan, Rory mengintip dari balik jendela ruang depan, berisyarat akan segera keluar dan
langsung mengakhiri pembicaraan di telpon dengan seorang ‘klien’. Lalu bergegas masuk ke
kamar, menuju lemari mengambil pakaian, t-shirt dan celana jeans robek, serta jaket kulit
hitam. Rory menurunkan celana boxer-nya lalu melemparnya ke gundukan di sudut kamar yang
sudah berupa tumpukan baju kotor dan belum sempat dibawa ke laundry.
Setelah cukup lengkap, Rory berlari keluar, memakai sepatu hitam bergaris putih terbarunya.
Tapi, ups! Rory kembali ke kamar karena meninggalkan handphone, benda terpenting setelah
nyawa, sebelum uang.
“Lama amat. Lo dandan ya?”, cetus Erris, yang sudah duduk di belakang setir sambil mencak-
mencak.
“Ah, lo kali!”, Rory mendecak kesal, buru-buru memakai sabuk pengaman, dan tanpa ragu Erris
langsung menginjak gas, melaju dengan kecepatan maksimum.
“Damar mana?”, tanya Rory begitu melirik ke belakang, rupanya hanya ada mereka berdua di
dalam. Dan biasanya mobil ini selalu berisi tiga orang cowok kesepian yang sering melayap
tanpa tujuan.
“Dia nggak mau ikut...”, jawab Erris, lalu melirik jam tangannya lagi, “Kayaknya kita telat deh…”
“Suruh dia sabar sebentar kenapa sih?”, celetuk Rory acuh tak acuh, dalam mobil yang melaju
lebih kencang di jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta.
Rory bercermin pada kaca yang ada di depannya untuk merapikan rambut pirang buatan-nya
yang sudah gondrong dan ia merasa cukup ganteng dengan membiarkan sedikit ujung rambut
menutupi dahinya. Ia mengernyit, kenapa lama-lama model rambut ini terlihat menggelikan
sekarang? Ia lebih terlihat seperti personel boyband Korea daripada preman -image-nya
selama ini, di kampus bahkan di keluarganya-.
---“Brengsek! Telat satu jam tau!”, sembur seorang gadis cewek yang memperhatikan mereka
dari kejauhan begitu Erris tiba di hadapannya.
Erris menghela nafas, “Setelah tiga tahun nggak ketemu malah bilang gue brengsek?”,
celetuknya, mengernyit tapi ia tetap menghampiri cewek berpenampilan urakan itu untuk
memeluknya.
Cewek itu malah nyengir, dengan wajah gembira ia membalas pelukan Erris sebentar, “Lo
tambah keren aja, Ris...”, katanya.
Erris tidak berkomentar, seolah mati rasa dengan pujian macam apapun dari cewek macam
apapun. Apalagi Laras, sahabatnya sendiri.
“Damar sama Rory mana?”, tanya Laras. Dia baru kembali dari Australia dan sama sekali belum
berubah dari segi berpakaian ataupun berbicara. Hanya rambutnya yang sudah terlalu panjang
yang membuatnya berbeda dari tiga tahun yang lalu.
“Damar sibuk...”, jawab Erris ragu-ragu lalu menunjuk ke arah toilet di mana Rory menghilang
karena sesuatu yang tidak bisa ditunda. Mungkin karena bangun tidur dia tidak sempat ke toilet
atau melakukan apa-apa selain cuci muka dan gosok gigi.
Laras kembali menatap Erris dengan perubahan wajah yang begitu drastis, dari gembira
menjadi sedih. Seolah Erris baru saja mengatakan hal yang mengecewakan.
Erris memandangi gaya terbaik Laras setelah lama tidak bertemu. Celana jeans pendek yang
memperlihatkan kaki panjangnya yang mengenakan sepatu kets merah. Atasan kaos longgar
berwarna abu-abu serta aksesoris kalung etnik. Rambut merah burgundy-nya digulung ke atas
dan helaian-helaiannya yang terlepas menjuntai ke bawah. Serta sunglasess berwarna
kemerahan di atas kepala. Laras saat ini lebih terlihat seperti backpacker asing yang ingin jalan-
jalan daripada WNI yang pulang kampung.
Erris tertawa bersama Laras di tengah keramaian bandara yang menjadi hal yang sangat biasa
setiap hari. Di mana pertemuan menjadi suka cita tapi tidak sedikit pula yang membawa duka
cita dari tempat yang jauh dalam perjalanan dan itu ada di suatu tempat, di sisi yang lain dari
sini. Tidak jauh dari tempat Erris dan Laras mengobrol tentang perjalanan dan rencana demi
rencana ke depan.
---Rory mulai terlihat di antara orang-orang itu, mencari jalan untuk menghampiri mereka.
“Asshole!”, suara itu menembus keramaian. Tak sedikit yang berlalu tapi banyak juga yang
melihat ke arah Rory yang terdiam, bingung, dan heran. Tapi hanya sebagian orang yang tahu
bahwa kata itu berarti ‘brengsek’. Kata itu juga diiringi dengan cacian lain dalam bahasa asing
yang diartikan seperti “Aku bersumpah akan kuhancurkan hidupmu setelah mencampakan aku,
brengsek!”
Siapa itu, yang memaki dengan keras, melengking dan terdengar begitu terluka?
Rory seketika menoleh ke belakang sebelum sempat menghampiri kedua temannya yang
sedang menunggu.
Apa Rory telah menyakiti seorang cewek?
---
Entah bagaimana, masalahnya cukup rumit.
Rory memelototinya, seketika cewek itu tersentak, membelalak membalas tatapannya.
Gadis ini seperti baru saja membangunkan semua saraf-sarafnya yang tertidur karena dia tidak
pernah dimaki karena mencampakan seorang gadis. Jangankan mencampakan, malah
sebaliknya.
“Ada apa sih?”, Laras menanyainya memecah kebisuan dalam keramaian bandara.
Rory tidak menjawab dan sudah memastikan bahwa dia sama sekali tidak mengenalnya.
Matanya tidak bisa lepas dari bidadari penuh amarah itu karena dia memiliki tatapan yang tidak
semua orang bisa membacanya. Sedih, putus asa dan kecewa. Semua perasaan yang terburuk
dan menyedihkan yang pernah ada di dunia ini, yang ingin ia tumpahkan andainya ia tidak salah
mengenali orang.
Tapi, gadis itu tetap mengangkat kepalanya, tampak mempertahankan harga dirinya. Meskipun
salah tingkah, dan bingung. Sikap yang menjengkelkan untuk seseorang yang baru saja
tertangkap basah berbuat salah dalam sekejap tapi mencoba untuk tidak peduli. Gadis itu
malah pergi begitu saja, pura-pura tidak melakukan apa-apa!
Rory mengernyit, meski jengkel. Beberapa saat ia berusaha menerima bahwa tidak seorang pun
dari mereka yang menginginkan hal ini terjadi. “Cewek sinting...”, gumamnya sambil
menggeleng-geleng. Cakep-cakep sinting...“Lo yakin nggak ada hubungan apa-apa sama cewek itu?”, Laras penasaran.
Rory tertawa kecil, “Apaan sih?”, cetusnya jenaka, “Cewek model begitu, bisa kurus gue...”
Erris ikut tertawa, Rory hanya sedang sial.
Rory menghampiri Laras, “Gimana penerbangannya? Lo nggak jetlag kan?”
“Ya enggaklah! Nggak seru-seru amat sih...”, jawab Laras sambil merangkulnya sebentar sambil
tersenyum, “Daripada cewek itu balik lagi mending kita cabut aja yuk”
Rory belum bisa melupakan kejadian barusan. Semua orang bisa saja salah mengenali orang.
Tapi, sejenak ia menoleh ke belakang tempat gadis itu menghilang di antara orang-orang yang
lewat. Ajaibnya Rory bisa dengan mudah menemukannya.
Seorang gadis, berambut kecoklatan, panjang dan ikal, bertubuh sedang, mengenakan gaun
putih. Ia duduk di salah satu kursi tunggu dengan sebuah koper pink, tampak mencari-cari
sesuatu di sekitarnya. Seperti sedang menunggu seseorang yang akan menjemputnya tapi tak
kunjung datang. Secara keseluruhan, cewek itu cantik. Sisanya, Rory berpikir, dia pasti tipe yang
nekat dibalik kelembutan seorang bidadari yang baru terhempas dari surga.
---
“Laras baru datang, mungkin kita bisa ketemu nanti”, Rory sibuk bicara di telpon.
Erris meliriknya dan mengernyit, seolah Rory tengah berurusan dengan seorang yang ngotot
tanpa peduli siang malam atau sesibuk apapun Rory dengan dirinya.
“Rory punya pacar sekarang?” tanya Laras yang duduk di belakang dengan santai.
“Boro-boro pacar...”, jawab Erris pelan, meledek dan Rory di sampingnya mendengar dengan
jelas lalu memutar matanya.
Laras tertawa, “Masih nggak ada status sama Uki?”, celetuknya.
Erris diam. Sedikit merengut saat melihat Rory sekilas sebelum perhatiannya kembali ke
jalanan.
“Kamu sudah makan siang belum?”, tanya Rory, suaranya mengisi setiap kekosongan di mobil
Erris yang melaju dengan kecepatan normal, “Aku masih di perjalanan ke tempatnya Damar…
Ya sih, bolos lagi,…oh ya?... mungkin nanti setelah selesai… aku ada kerjaan sedikit…oke, sampai
ketemu lagi…”Erris tidak berkomentar, di saat Rory seperti tidak menganggap ada orang lain di dekatnya.
Mendengar nada suaranya merendah bila bicara dengan gadis itu.
Meski tidak bisa diingkari, Rory tipe penyayang yang jarang ada, apa lagi kepada perempuan,
anehnya dia belum memacari siapapun dengan serius. Tapi, ia memiliki dunianya sendiri yang
tidak banyak diketahui orang. Selain menjadi berandal, pembuat masalah, dan ugal-ugalan Dia
juga punya segudang masalah. Masalah yang Rory tahu yang tidak ingin pergi dan terus
mengikutinya kemanapun ia pergi. Seperti memeluknya sampai akhir.
Rory berusaha menganggapnya tidak pernah ada. sekalipun tinggal sendirian sekarang, di
rumah kontrakan kecil yang hanya punya satu kamar dan perabotan seadanya. Belakangan ini
setiap pagi pula, Bu Endang datang untuk menagih uang sewa yang sudah menunggak dua
bulan. Rory sudah meyakinkannya bahwa dia akan melunasinya sebelum menjadi tiga bulan.
Uang semester kuliahnya juga yang harus dibayar sebelum ujian. Dia juga punya tagihan listrik,
air dan cicilan motor yang baru ia beli sekitar enam bulan lalu, saat semua fasilitasnya di-‘tarik’
dan sang ayah ‘melempar’-nya ke dunianya yang seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lautan Monster
HorrorRory menurunkan celana boxer-nya lalu melemparnya ke gundukan di sudut kamar yang sudah berupa tumpukan baju kotor dan belum sempat dibawa ke laundry. Setelah cukup lengkap, Rory berlari keluar, memakai sepatu hitam bergaris putih terbarunya. bagai...