One Percent

82 18 13
                                    

Hunter Andersson terdiam, terduduk tenang di sebuah bangku panjang di pinggir jalan. Salju yang turun kala itu, terus menumpuk di bahunya. Membuatnya terlihat jelas sedang melamun. Beberapa orang berjalan melewatinya acuh tak acuh. Seakan tak melihat jika ada seseorang di sana.

Dari kejauhan, terlihat seorang pria sedang memandanginya dengan tatapan tajam. Napas putih berhembus dari mulutnya. Pria itu menghembuskan napas panjang lega. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantung jaketnya, dan perlahan pria itu berjalan mendekat.

"Aku tak habis pikir," pria itu-Jin Ryu, bertanya diselingi senyuman mengejek. "Kenapa ada orang yang ingin menghabiskan waktunya di taman seorang diri. Dengan cuaca sedingin ini."

Hunter tersenyum tipis tanpa memandang Jin Ryu, "Aku tak akan mendengarkan nasihat dari orang yang statusnya sama buruknya denganku. Single."

Jin Ryu mendelik, "Kau tahu? Aku sudah susah payah membuatkan blind date untuk kita. Tundukkan kepalamu sekarang dan meminta maaflah padaku, sebelum aku membatalkannya."

Hunter perlahan berdiri, masih tersenyum. "Ikat dahulu sepatumu dengan benar."

Jin Ryu langsung menunduk. Disaat yang sama, tawa Hunter yang sudah ia tahan sejak tadi, keluar sedikit.

"Sikap menundukmu sangat bagus. Ayo, pergi. Sebelum aku mati kedinginan disini," ucap Hunter sambil menepuk bahu Jin Ryu dan berjalan melewatinya.

"Hah! Orang ini! Orang ini benar-benar membuatku naik darah," geram Jin Ryu. "Tunggu aku, dasar berengsek!"

***

Patricia Watson mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. Pikirannya pusing tak tentu. Bagaimana ceritanya ia mengikuti acara bodoh seperti blind date? Ia bahkan belum resmi putus dari pacarnya!

"Santailah sedikit, Pat. Aku tahu kau ingin segera mencari pengganti dari pacarmu itu. Siapa namanya? Kartu? Katun?"

Patricia menatap sinis temannya itu. Temannya-Suzune Tamako memang seperti ini orangnya. Ia suka mengambil kesempatan, bahkan disaat orang lain sedang terkena masalah, ia tidak akan peduli sampai tujuannya tercapai. Wanita yang benar-benar sadis.

"Kazu," Patricia membenarkan dengan nada sinis.

"Ah iya itu," balas Tamako. "Kau pasti akan melupakannya hari ini, Pat."

Tamako tersenyum manis. Senyumannya membuat Patricia bergidik. Bukan karena apa-apa, Patricia sudah mengenal dekat Tamako sejak masih dibangku sekolah. Ia hafal betul dengan senyuman manis itu.

"Apa laki-laki ini tampan?" tanya Patricia. Berusaha menegaskan deduksinya.

"Hmm-mm," jawab Tamako singkat seraya mengangguk sedikit.

"Sudah kuduga," gumam Patricia. "Kapan korb-... laki-laki itu akan datang? Ini sudah mendekati waktu janji. Kau tahu benar, aku tak suka menunggu!"

"Tolong jangan berbicara lagi sampai laki-laki itu datang, Pat. Mengatainya sebagai korban membuatku ingin berteriak. Tapi, aku tak mau orang lain mengira aku ini wanita liar. First impression itu penting."

"Ah, baik. Maafkan aku..." kata Patricia menundukkan kepalanya. Takut Tamako akan lepas kendali.

Tak sampai lima menit, pintu kafe itu terbuka. Suara lonceng yang dipasang di balik pintu berdenting keras. Dua orang laki-laki masuk. Patricia melihat Tamako melambaikan tangan ke arah mereka.

Patricia menelan ludahnya. Kali ini Tamako benar. Kedua laki-laki ini lumayan tampan, memakai winter suits dan terlihat berkelas.

Patricia melirik Tamako, tersenyum senang. Tamako hanya diam, menatapnya tajam, dan menempelkan jari telunjuknya ke hidung. Menyuruh Patricia diam untuk yang kedua kalinya.

100: Enchanted QuillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang