Sacha membenci hari Minggu.
Sangat-sangat membenci hari Minggu.
Melebihi bencinya pada bau pestisida yangbisa membuatnya mual dan pening sepanjang hari.
Tidak, Sacha tidak membencinya karena jika hari Minggu berakhir maka Senin akan menanti di depan mata. Bukan juga karena ia tak bisa menggunakan hari Minggu sebagai hari libur dan hari istirahatnya dengan maksimal.
Well, ia tak pernah bisa menggunakan hari Minggu sebagai hari malas dan istirahat seperti kebanyakan orang lain juga. Ia bekerja selama 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, 365 hari dalam setahun. Jika ia beruntung, ia akan bekerja 366 hari dalam setahun. Kalian tentu tahu tentang kalender Kabisat yang kelebihan satu hari bukan?
Eniwei.
Sacha membenci hari Minggu karena itulah saat ia harus makan malam bersama kedua orangtuanya.
Tidak. Sacha bukannya memiliki hubungan buruk dengan kedua orangtuanya. Mereka hanya memiliki pemahaman dan keinginan yang tidak sejalan. Terutama ayahnya.
Itu sebuah perbedaan yang besar bukan?
Sacha menghela nafas berat. Ia menatap teras depan rumah kedua orantuanyayang lengang. Pintu rumah terbuka namun tak ada yang keluar untuk menyambutnya. Mungkin mereka tengah sibuk. Ia melirik halaman depan rumah yang terdapat 3 mobil terparkir selain miliknya.
Ia menggeser cermin di atas dashboard mobilnya untuk melihat penampilannya, memastikan tak ada riasan yang luntur, memastikan riasannya cukup untuk memberi warna dan menutupi wajahnya yang pucat. Setelah merasa semuanya terlihat baik-baik saja, ia kembali menghela nafas dan keluar dari mobil yang ditumpanginya.
Kehadirannya disambut oleh teriakan dan tubrukan kecil di kakinya oleh keponakan-keponakannya yang berisik, "Tante Sha kok lama?" tanya Aaron anak kakak laki-laki Sacha yang berumur 4 tahun.
"Iya. Kan Shinta sudah lapar." timpal anak dari adik perempuan Sacha yang baru saja berulang tahun yang ketiga minggu lalu.
"Maaf, tadi tante Sha terjebak macet di jalan." Salah. Bukan jalan yang macet. Tapi pikirannya yang penuh dengan hal-hal yang sebenarnya tak perlu dipikirkan olehnya.
"Sebaiknya kita langsung mulai makan." ujar ibu Sacha yang selalu bisa menyelamatkannya dari situasi yang berbahaya seperti ini.
Sacha mengangguk dan berjalan menuju ruang makan. Ia menyapa adik perempuan dan suaminya juga kakak laki-laki dan istrinya yang tengah menggendong anak kedua mereka yang baru berumur 1 tahun sebelum duduk di kursi di sebelah kiri ayahnya.
Mereka makan dengan tenang, sesekali Aaron dan Shinta berceloteh, bercerita tentang kegiatan mereka di sekolah hingga suasana makan terasa lebih santai daripada yang terlihat.
Hingga suatu ketika saat ibu dan kakak iparnya mengambil piring kotor dan sisa hidangan untuk digantikan dengan hidangan penutup, ayahnya mulai berbicara, "Bagaimana keadaanmu Sha?"
"Baik yah."
"Bisnis?"
"Lancar."
Ayahnya mengangguk kecil kemudian melanjutkan, "Kapan kau akan mulai memikirkan hidupmu selanjutnya?"
"Hidupku tengah berlanjut Yah." Sacha menjawab pelan.
"Kedua saudaramu sudah memiliki keluarga. Tidakkah kau juga menginginkannya? Sebuah keluarga yang menunggumu? Buah cinta dari darah dagingmu sendiri yang membuatmu rindu akan rumah?"
"Ayah..." ibunya memotong, namun satu peringatan itu seperti tak pernah disuarakan.
"Ada 3 cucu yang bisa Ayah manjakan. Aku bahagia dengan hidupku sekarang." suara Sacha bergetar saat menjawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Music to my Lyrics
Short StoryIf You Were A Movie, This Would Be Your Soundtrack