Perjodohan

100K 1.6K 31
                                    

Kepalaku tertunduk, tak berani menatap abah, tidak juga berani memotong perkataan beliau walaupun ingin. Aku sendiri bingung,  apa yang harus kulakukan?

"Jadi bagaimana pendapatmu, Naina?" Suara abah yang dalam dan berat mengalihkan perhatianku sejenak. Akhirnya abah menanyakan pendapatku juga setelah beberapa lama.

"Abah, maaf, bukannya Naina mau membantah. Tapi Naina rasa, ini terlalu cepat," sedikit menarik nafas, ku tata kalimatku kemudian agar tak terdengar terlalu kasar nantinya "Tahun ini Naina baru genap duapuluh dua tahun. Naina juga baru mulai bekerja. Apa nggak sebaiknya menunggu beberapa tahun lagi sampai Naina siap? Karena sejujurnya Naina belum...belum berniat untuk berumah tangga. Lagipula kalau nanti Naina menikah, Naina takut nggak bisa ngurus Abah dengan baik." 

Kembali kepalaku menunduk, tak berani melirik pada abah yang duduk tenang di sampingku. Samar suara televisi di hadapan kami ku tangkap, tapi aku tak tau acara apa yang sedang berlangsung di layar datar itu karena sedari tadi pikiranku sudah kacau.

"Naina Humairah, Abah rasa ini sudah waktunya untukmu, nak. Dua puluh dua tahun Abah rasa sudah cukup matang untuk perempuan untuk menikah. Lagipula dulu Umi-mu menikah dengan Abah sewaktu masih duapuluh tahun." Abah terkekeh pelan hingga memungkinkan aku untuk kembali menatap beliau.

"Tapi, Bah..."

"Dan kalau soal bekerja, Abah yakin calon suamimu nanti tak akan membatasi sama sekali kegiatanmu di luar rumah asalkan kamu tetap bisa menempatkan diri dengan baik. Abah percaya pada putri Abah. Di sini Abah juga dekat dengan Muthia, jadi kamu tidak perlu khawatir kalau nanti nggak ada yang mengurus Abah."

Aku kembali menunduk dalam-dalam. Ya Rabb, apakah memang sudah tiba waktuku menyempurnakan separuh dien-ku? Apa aku siap dengan pernikahan ini? Apa aku bisa menerima calon suamiku nanti? Pun dia padaku, apa dia bisa menerimaku? Semua kurang maupun lebihku?

"Apa Abah yakin?"

"Insya Allah, Abah yakin dengan keputusan Abah. Lagipula Abahmu ini sudah uzur, Nak. Abah hanya ingin di masa tua ini bisa melihat semua anak Abah bahagia. Sekarang tinggal kamu yang masih ada dalam tanggung jawab Abah, semua kakakmu sudah menikah dan menjalani rumah tangga masing masing. Jadi alangkah senangnya, jika sebelum meninggal nanti, Abah bisa menjadi wali nikah putri bungsu Abah."

"Abaahhhh...kok ngomongnya gituu." Air mata kesedihan tak bisa ku bendung saat ayahku mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan santai.

"Abah hanya mengungkapkan apa yang pasti akan terjadi, Naina. Kematian itu pasti hukumnya. Tidak ada seorangpun yang bisa menunda atau mempercepatnya. Kamu tau itu dengan baik kan nak?"

Aku benar-benar luruh dalam tangis sekarang. Semua rasa campur aduk dalam dada. Aku tidak suka berbicara tentang perpisahan, kematian atau apapun tentang itu. Walaupun aku tau bahwa tak ada satupun yang abadi di dunia ini, tapi aku masih belum bisa mengikhlaskan jikalau Allah memanggil ayahku dalam waktu dekat.

Aku mencintai ayahku dengan sangat. Setelah Umi meninggal sepuluh tahun yang lalu, praktis kami tinggal berempat. Abah, aku, Bang Salman dan kakak sulungku Muthia. Namun tiga tahun berselang, kak Muthia di persunting putra Haji Baedhowi yang masih satu kampung dengan kami, kemudian mereka hidup terpisah walaupun masih terhitung dekat. Dua tahun kemudian Bang Salman menikah dan tinggal bersama keluarga isterinya di kota lain karena memang isterinya merupakan putri tunggal, hingga kedua orangtuanya tidak rela bila mereka berjauhan. Tinggallah aku dan abah di rumah besar ini. Berdua saja. Mungkin inilah yang membuatku masih terasa berat untuk menikah karena memang aku belum terbiasa jauh dari abah.

Jodoh Untuk NainaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang