Transformasi Imaji

130 13 0
                                    


"Nara?!" Teriakannya memecah lamunanku,

"Ah, iya? Apa?" Jawabku kikuk

"Bengong aja, sih." Ia berjalan mendekat,

Ah... Apa itu tadi? Sejak kapan aku mulai melamun? Pikiranku bertarung dan memaki raga

"Nara, salam kenal, ya." Aku memperkenalkan diri sembari menyodorkan tangan ke depan, tanpa berani sedikitpun kutatap matanya

"Senja, salam kenal juga! Ada yang mau ketemu tuh!" Katanya sambil menerima ajakanku bersalaman, lalu menengok seorang gempal yang berjalan ke arah kita berada dari balik gerbang. Senyumnya sangat lebar hingga memamerkan barisan gigi dalam mulutnya. Sebuah senyuman yang aku kenal, sebentar lagi senyuman itupun akan berubah menjadi tawa dan cacian, lihat saja.

Dia adalah kawan SMP-ku, dulu, Faris namanya. Mengapa juga harus ada makhluk satu ini di sini, semesta memang kadang sering bercanda. Ia sisipkan sedikit bumbu pait pada kisah semanis kembang gula, agar indah terasa mungkin maksudnya.

"Ngapain lo, pet? Wah! Jangan macem-macem, lo!" Faris cengengesan di hadapanku, ya dengan senyum mengejek yang sama,

'Kapet' adalah sapaan khasku semenjak masa SMP. Sejarahnya akan sangat panjang bila dijabarkan. Perlu rumus integral dan lainnya. Aih.

"Jemput doang, Ris hehe" aku menjawab, dengan senyum pait tentunya

"Yaudah sana lo cabut, ati-ati yak! Pj aja pj," dia memukul-mukul helmku

"Apaan sih elah hehe," aku cengengesan, antara malu dan senang, mungkin.

"Yuk!" Kuberikan isyarat ke Senja untuk naik ke motor

"Ayuk, dadaah, Faris!" Senja melambai tangan pada Faris

Ternyata, Faris teman sekelasku saat SMP dulu, adalah teman sekelas Senja. Kadang aku berpikir, sebegitu sempitnya kah dunia sampai-sampai tiap hubungan yang terbangun kadang melibatkan setidaknya satu atau beberapa orang yang sudah kita kenal sebelumnya.

"Mau kemana, Bu?" Tanyaku ke Senja

"Bebas sih, maunya kemana?" Jawabnya

"Pulang? Hehe" Godaku

"Ya, nggak pulang juga, Pak,"

"K*C aja? Biar nggak usah jauh-jauh"

"Okey, situ aja."

Kemudian motor kuarahkan ke lokasi yang disetujui, kali ini oleh dua belah pihak. Selama perjalanan, tak sedetikpun lagu di ponselku terhenti. Alunan dari sebuah lagu yang dibawakan oleh The Temper Trap meresap ke telingaku. Membuat perasaan tersendiri pada momen yang jarang aku jalani ini. Semesta mungkin ikut merayakan pengaturan takdir ini, disesatkan aku pada ruang imaji yang malam tadi aku tak berani untuk impikan.

Bahkan untuk membayangkanpun awalnya ku tak yakin. Bukan karena aku terlalu pengecut untuk melakukan. Namun aku yakin, Senja pasti akan lebih indah dari apa yang aku bayangkan.

So stay there

Cause I'll be coming over

And while our blood's still young

It's young, it runs

And won't stop 'till it's over

Won't stop to surrender

"Sweet disposition..."

"Nyanyi, Pak?" Senja memukulku pelan

"Eh, engga kok engga," aku menjawab kikuk. Bodoh. Cukup harusnya kunyanyikan dalam hati,

"Kalo nyanyi yang kenceng sekalian, dong, biar gue ikut,"

"Enggak, ah haha"

"Hih dasar"

Tak lama, kita tiba di tempat tujuan, ya hanya obrolan-obrolan biasa. Hanya sekedar obrolan tentang pelajaran dan kehidupan masing-masing. Senja yang larut dalam percakapanpun akhirnya memperlihatkan sifat aslinya, dia cerewet.

Selama percakapan, yang aku lakukan bukan hanya memancingnya untuk memperpanjang percakapan, namun ku perhatikan lekat-lekat struktur wajah dan segalanya. Hampir meleleh aku dibuat saat ia tertawa kecil, ia memiliki gingsul!

Tertulis samar sebait sajak di sore itu,

Kala senja menutup hari

Lelah matahari sehari memendarkan diri

Kulihat mukjizat Semesta

Ia titipkan aku sejurus cahaya

Dimana harus kujaga agar tetap ceria; Senja

Tak kuucap memang sajaknya, namun menggema keras dalam pikiran. Untung saja lidah tak berontak, seperti nyanyian di motor sebelumnya, sehingga tak sempat diksi-diksi itu memenuhi tempat makan yang lumayan ramai.

"Lo kok ngerokok terus, sih? Rokoknya sama lagi kayak Ayah," celetuknya

"Ya emang kenapa? Ayah lo aja yang ngikutin selera gue" aku tertawa

Matahari telah benar-benar jatuh, sehingga gelap semaunya berkuasa. Ia gerayangi langit dari Selatan hingga Utara. Namun niatku untuk mengantar seorang perempuan ini ke rumah pun, tak kunjung datang, sampai akhirnya dia angkat bicara kalau ia harus pulang.

"Udah gelap, ayok pulang," ia berujar

"Iyaudah ayok"

Beranjak pergi kita meninggalkan meja, dengan sampah yang masih berantakan di atasnya, tak peduli kita berlalu meninggalkan. 

Begitu pula aku, yang tanpa berat hati meninggalkan meja itu. Padahal nantinya, pada kemudian hari, aku sangat merindukan obrolan sesaat pada meja tersebut. Nanti. Belum waktunya aku ceritakan.

Ruang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang