BUTIRAN hujan mendekap samudera pasifik dengan awan kelabu yang terus bergerak menuju selatan, jatuh satu persatu bercampur dengan deburan ombak. Sebuah kapal dengan bendera bajak laut berkibar dengan megah di tengah pertumpahan darah antara para bajak laut dan prajurit berseragam biru tua, saling menghunuskan pedang, mempertaruhkan nyawa untuk kemerdekaan masing-masing. Akan tetapi, kawan, nyawa dan harta adalah hal yang sebanding bagi para bajak laut. Setiap darah yang ditumpahkan, napas yang dihembuskan, pedang yang dihunuskan, adalah bentuk keserakahan seorang bajak laut sekaligus kesetiaan yang tiada tandingnya dibandingkan dengan mereka yang lebih mendukung sebuah kebenaran.Adalah sebuah malapetaka bagi pelaut unggul berhati selembut satin, dengan pandangan yang berpancarkan kerendahan hati untuk berpapasan dengan kapal seorang bajak laut. Bajak laut bukanlah kompetitor yang setara bagi mereka yang membela kebenaran dan memiliki kepercayaan. Maka pada hari itu, setiap pedang yang terhunuskan membalas dendam tiap bajak laut untuk mereka yang tidak pernah tahu arti berbagi, menusuk jantung dan hati yang mendekap tiap komitmen seorang prajurit. Darah merah membasahi pakaian putih, menembus hingga jas biru tua selutut dihiasi berbagai tanda pangkat dan jabatan, merenggut nyawa demi nyawa yang terasa bagaikan kemenangan atas kawan lama yang dahulu menemani hingga khianat memisahkan jalur.
Para bajak laut itu berhasil lagi, awak-awak kapal Kapten Armel Lionel untuk kesekian kalinya mengambil kekayaan kapal sebuah kerajaan. Mereka yang berlumuran darah musuh dan luka bersorak, saling berangkulan. Satu mengangkat botol penuh rum, satunya lagi melempar topi bajak laut. Sepertinya lautan kali ini akan ramai dengan pesta keberhasilan para bajak laut itu.
"Kapten!" tiba-tiba seorang awak kapal memecah kebahagiaan yang bertumpah ruah di atas kapal tersebut, "kapten, kau harus melihat sesuatu!"
"Rodrigue? Apalagi? Kau selalu saja memecah keriaan ketika kita memenangkan peperangan. Bersenang-senanglah sesaat!" intonasi jengkel kapten bajak laut tersebut menggema di seluruh kapal.
"Non, kali ini aku serius! Di dalam ruangan kapten. A-ada sesuatu," wajah salah satu awak kapal bernama Rodrigue itu bagaikan melihat hantu Kapten Davy Jones, "S'il vous plaît, Le Capitaine."
Kapten Lionel berjalan terpincang-pincang dengan kaki kanan yang disangga oleh kaki palsu, menerobos kerumunan awak kapal berbau badan, menuju ruangan kapal yang terletak di bawah tempat kemudi kapal. Kapten berjanggut putih hingga dada tersebut mendorong pintu berukiran perlahan, menghunuskan pedang yang berlumuran darah dari sarungnya, maju langkah demi langkah. Pedang teracung ke depan, siap menebas siapapun yang menghalangi jalannya. Ketika sudah melangkah beberapa sentimeter dari pintu, terdengar suara tangisan bayi dari ujung ruangan. Kapten termangu, berusaha berkonsentrasi dan memastikan bahwa apa yang ia dengar bukanlah halusinasi belaka. Ia memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung, berjalan mendekati sumber suara, dan terbelalak ketika menemukan apa yang telah membuat Rodrigue kesetanan di saat-saat kejayaan mereka.
Seorang bayi perempuan, sepertinya baru beberapa bulan terlahir dari perut ibunya, terlihat menangis dalam balutan selimut lembut bermotif flora. Kapten Lionel memperhatikan bayi itu untuk beberapa detik, tidak menyangka bahwa kapal ini akan kedatangan tamu baru yang akan mengubah kehidupan seluruh awak kapal tepat seratus delapan puluh derajat. Bayi itu begitu manis dan terlihat cantik dengan matanya yang sayu dan pipinya yang gembul. Laksana embun pagi air matanya, mengalir dan membasuhi pipi. Seluruh keindahan samudera seakan terbenam di dalam kedua netra berwarna biru kehijauan. Siapa sangka hati seorang bajak laut terkejam dan ditakuti oleh seluruh pelaut ulung akan luluh ketika melihat pemandangan seperti ini? Tetapi, bajak laut tidak lebih dari manusia yang berjuang melawan ketidakadilan yang mereka alami di masa lalu.
Lihatlah, Kapten Lionel menimang bayi tersebut, berjalan menuju pintu ruangan, siap mengumandangkan suatu keputusan besar yang harus ditanggung oleh seluruh awak kapal. Wajah bengis Kapten Lionel mendadak sendu, ia memperhatikan satu persatu awak kapal yang mulai memberikan komentar dan bertanya-tanya. Sepertinya salah satu prajurit dengan sengaja meletakkan bayi tersebut di kapal ini.
"Tuan-tuan yang terhormat," dengan lantang Kapten Lionel memulai pidato singkatnya, "Pada hari ini, pada hari kemenangan kita, apa yang disampaikan oleh pendahulu kita telah datang. Samudera ini terus akan memberikan berbagai cerita dan legenda. Samudera ini tidak pernah tenang oleh deburan ombak, kapan pun. Angin akan terus berembus membawa berbagai pelaut ulung dan juga bajak laut berlayar mengarungi berbagai perairan, mempertaruhkan takdir di atas kapal dan sebuah kompas.
"Kawanku, para pejuang dengan hati sekuat baja. Musuh kita telah tumbang, tetapi mereka telah meninggalkan sesuatu yang tidak ternilai harganya. Kita tidak akan pernah tahu apa maksud mereka meninggalkan bayi perempuan ini di kapal seorang bajak laut dan saya rasa mereka tidak selugu dan sebodoh itu dengan meninggalkan ini di dalam kapal kita. Akan tetapi, bajak laut juga memiliki kewajiban untuk menjadi manusia. Artinya, kita tidak akan membiarkan bayi ini teronggok begitu saja di dalam kapal. Kita akan membesarkan, merawat, dan menjaganya hingga dirinya sudah matang untuk memutuskan sebuah pilihan."
Seluruh awak kapal menunduk, memperhatikan dengan saksama. Menunggu kalimat kapten mereka selanjutnya. Keheningan yang penuh makna tersebut telah membuka kesadaran mereka akan perubahan pada takdir mereka sepenuhnya.
"Mari kita sambut, kehadiran anggota baru kita," Kapten Lionel berseru, memulai perekrutan anggota baru secara resmi sebagai salah satu tradisi turun temurun yang terjadi di kapal Lionel's Compass, "Isabella Josseline."
Seluruh awak kapal
mengacungkan pedang mereka ke atas, menusuk udara yang berubah menjadi haru dan penuh kebahagiaan. Deburan ombak terdengar menyemangati suasana perekrutan anggota baru mereka, Isabella Josseline. Bendera bajak laut berkibar mengikuti arah angin, sesekali terkena hamparan sinar matahari senja yang hangat. Matahari terbenam di ufuk barat, membuat percikan air dan ombak memantulkan kerlap-kerlip bagaikan manik-manik di atas selendang berwarna biru. Pada hari itu, mereka tidak mengetahui takdir macam apa yang akan mengikuti mereka hingga 18 tahun kemudian.

YOU ARE READING
[ TBRS ] The Sacred Sea of Atlantis
Fantasy[ The Black Rose Series: I ] Kehidupan seorang bajak laut itu cukup sederhana. Engkau lahir, dibesarkan, dan berakhir menjadi bajak laut di atas sebuah kapal, berlayar mempertaruhkan takdir dengan kompas dan layar-layarmu. Akan tetapi, semua beruba...