Things That I Like About You

12 1 0
                                    


  Aku duduk di ujung tangga depan pintu rumahku. Sambil sesekali mendongak untuk melihat ke langit yang dihiasi dengan jutaan bintang. Dan aku disini menunggu dengan berjuta harapan. Memandang lurus jalanan beraspal yang sepi. Sunyi. Padahal sekarang masih pukul sepuluh malam.

Dan sekarang malam minggu. Malam yang ramai oleh pasangan-pasangan untuk menghabiskan waktu bersama.

Lalu aku menunduk. Melihat kakiku yang telanjang tidak beralaskan apapun. Dingin yang terasa pada telapak kakiku saat menapak tangga kayu rumahku.

Aku memejamkan mataku sebentar,sampai tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu menyentuh kakiku. Aku membuka mata dan melihat sepasang kaki yang dibalut sepatu biru tua menempel pada ujung kakiku. Aku mendongak dan melihat…dia. Laki-laki itu yang membuatku menunggu. Menunggu tanpa aku tahu apa alasannya.
 
Dia tersenyum. Menampakkan lesung pipinya yang menurutku begitu indah,kemudian membuatku terpaku sebentar. Aku selalu suka dengan lesung itu. Seperti bulan sabit yang menyinari malamnya,seperti bulan sabit yang setia dengan langitnya. Setelah sadar dari keterpakuanku,aku mengerjapkan mata beberapa kali.

“Sori,Na. tadi di jalan macet. Wajar,kan,malem minggu. Dan gue harus membantu temen gue yang lain buat ngelayanin pelanggan di kedai kopi. Makanya sedikit lama.”katanya.

Mataku beralih menatap apa pun yang ada disini,untuk menghindari kontak mata dengannya. Aku tak mau jatuh berkali-kali untuk alasan yang bodoh. Tidak. Karena aku tahu,sekuat apapun aku menghindar,aku akan tetap jatuh kepadanya.

“Hm,” hanya itu yang bisa aku keluarkan dari mulutku. Aku terlalu kecewa padanya.

“Maaf.” Katanya,dengan suara pelan.

Lalu tanpa disuruh,dia duduk disebelahku.  Aku sedikit menggeser tubuhku memberi jarak. Mataku masih setia menatap jendela rumah tetanggaku yang didalamnya diterangi lampu. Mungkin orang yang berada disana belum tidur.
“Kenapa?” tanyanya

“Udah jam berapa,Van? Gue nunggu lo dari sore tahu,nggak. Dari gue liat matahari tenggelam,sampai langit berubah jadi gelap,lo nggak dateng juga.” Laki-laki itu menutup mulutnya rapat.
Dia memandangku lekat. Sekarang aku benar-benar menatap mata cokelatnya,tak lagi memandang ke jendela. Satu lagi yang kusuka darinya,mata cokelat terang yang entah sekarang tak terlihat seperti biasanya.

Dia,Revan. Laki-laki yang dulu-atau sekarang masih aku cintai,padahal hubunganku dengannya sudah berakhir hampir lima bulan lalu.

Revan,yang selalu aku pikirkan pada pukul dua malam ketika aku terbangun,padahal aku tahu dia sedang tertidur lelap di ranjangnya yang nyaman.

Revan,yang selalu aku doakan juga disetiap awal pagiku,padahal aku tahu dia sedang sibuk bersiap-siap membuka kedai kopi kepunyaannya itu.

Dia,Revan sang bulan.

Aku,Hana,sang bintang yang tak terkena sinarnya. Yang membuat bintang itu redup dan tak terlihat.

Ada keheningan yang menyelimuti antara aku dan Revan. Saat ini aku bisa melihat wajah Revan. Wajah yang lelah,kantung dibawah mata yang menghitam. Aku tidak tahu apa yang dia kerjakan seharian ini.

Sedetik kemudian dia mengeluarkan iPod dari sakunya lengkap dengan earphone. Dia segera memberi sebelah earphone nya kepadaku.
“dengerin lagu yang bakal gue putar.”

Aku menuruti,dan segera menyumpal sebelah telingaku dengan earphone. Tak lama,sebuah lagu mengalun memasuki telingaku.

Seketika,tubuhku menegang. Aku tahu lagu ini. Saat awal-awal hubunganku dengan Revan berakhir,aku sering mendengar lagu ini.

i'm ready for it all,love

i'm ready for the pain

2am ThoughtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang