4. Dialog Senja

2.1K 397 13
                                    

Yogyakarta, 27 Juli 1990

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yogyakarta, 27 Juli 1990

Tampak jelas sudah lagi rahasia umum kalau gadis berasma Lingga Kahyang itu masih tak punya teman dekat bahkan setelah menjelang dua bulan bertalu-talu beradaptasi. Tatkala hanya omong kosong yang Ia terima dari orang-orang dikelasnya, Lingga pikir ada yang salah dari cara Ia mencoba membangun relasi asumsinya kala itu. Hingga titik ini, Lingga kian sadar dan semakin mengubur diri.

Tak ada yang salah darinya, memang asumsi buruk perihal dirinya itu seakan sudah menjadi kaset yang diputar disetiap kepala orang-orang dikelas.

Dibawah pohon rindang ditemankan suasana Yogyakarta sore itu. Merapatkan raga dibawah jaket, dari sini dapat memandang jelas bangunan sekolah, hanya ada beberapa orang yang tersisa. Ada anak-anak dari ranah basket, sekumpulan srikandi dengan balutan baju cheers penuh warna yang jelas tak sama warnanya dengan isi pikiran Lingga. Adapula pasukan purna paskibraka, sedari dulu ingin bergabung keranah itu namun tinggi badannya membuat Lingga jadi sulit untuk memantaskan diri. Dan berakhirlah, Lingga si anak apatis. Menyedihkan.

Hingga detik ini, Ia pikir dirinya mulai frustasi. Tak bisa memungkiri bahwa lingkungannya yang memaksanya menjadi sosok apatis. Semua orang menjauhinya, sebab perihal ini.

Mau tak mau membawa raga bangkit, berniat untuk pulang. Langkah kaki membawanya menuju parkiran, ada sepedanya disana. Dan satu presensi lain yang tengah mengeluarkan motor vespa dari barisan parkiran. Bahkan dari punggunya pun jelas Lingg tahu itu siapa. Seakan seperempat rasa frustasinya melayang, Ia tersenyum separuh. Entah apa gerangan raganya mendadak diam ditempat, sampai presensi itu menaruh atensi padanya.

"Lingga?"

Senyum separuh itu berganti, kian lebar dengan lambaian. Taruna itu balas melambai. Menarik gas hingga kedua muda-mudi itu berdampingan."Halo Adi. Baru mau pulang?"

"Iya, ada sesuatu yang saya urus terlebih dulu. Makanya baru bisa pulang. Kamu sendiri?"ujarnya sembari melepas helm, memangkunya diatas paha.

Barusaja meratapi nasib,"Ini mau pulang."

"Rumahmu dimana?"tanya Adi lagi.

"Godean, kenapa Di?"Adi manggut-manggut.

"Godean dimananya Lingga?"kali ini memangku dagu, dengan siku bertumpu pada helm.

Telunjuknya menuding asal,"Nusa indah, kenapa sih kok kamu nanya?"mendadak sewot, merasa pertanyaannya sedari tadi diacuhkan. Taruna pemilik asma Adipramana itu terkekeh.

"Gak apa. Kebetulan saya pulang ke Gading Sari, kamu kayaknya sendirian. Mau pulang bareng saya?"

Skenario apalagi ini tuhan. . .sebisa mungkin menahan degup, meremat ujung tali ransel dengan gelisah berusaha mengatur air muka. Mendadak teringat eksistensi sepedanya, tampak seperti tengah menjerit kearahnya. Adi masih menunggu, mengikuti arah pandang Lingga."Oh kamu sudah ada teman pulang ya?"

"Enggak!"

Seruan lantangnya itu lantas membuat taruna itu memundurkan pigura, sementara Lingga langsung merapatkan bibir. Apa-apaan tadi itu Lingga? hidungnya kembang kempis, malu. Taruna itu menjilat bibir sembari menggaruk pelipis."Kalau gitu. . . mau bareng saya?"

Yaya, malam ini nginap disekolah dulu ya. batinnya, seakan tengah bertelepati dengan sepedanya yang seakan menyerukan sumpah serapah kearahnya. Jelas tak akan melewatkan kesempatan ini. Akhirnya mengangguk, disambut Adi yang menoreh senyum lalu menepuk jok kosong dibelakangnya. Mengisyaratkan gadis itu segera naik.

"Saya gak bawa helm lebih, tak apa?"

"Gak apa."sahut Lingga, mengakhiri dialog diantara keduanya setelah Adi menarik gas. Meninggalkan Yaya dan sekolah.

Dari belakang hanya ceruk leher dan tengkuk Adi yang hanya bisa Lingga tangkap. Susah payah melirik kearah spion, hanya untuk mendapati pigura datar Adi yang terfokus pada jalanan Jogja sore itu. Dibawah jingga, ada semburat oranye didua pasang netra muda-mudi itu. Menghantarkan gelenyar aneh dan perasaan yang kian sulit dijabarkan. Nusantara seakan tengah berpihak pada Lingga, seakan berbisik kepada tuhan bahwa salah satu ciptaannya tengah dirundungi berbagai tekanan.

Menghantarkan Adi lagi sebagai pelipur sepi hatinya.

Seakan ada sekaset musik sesejuk angin sore yang tengah mengiri pulang keduanya, memberikan efek khayal tiada henti dikepala Lingga. Layaknya sebutir morfin, rasanya Lingga ingin menelannya lagi-dan-lagi. Ia sakau akan khayalnya sendiri.

"Lingga, nanti beritahu rumahnya dimana, terus belok mana juga kasih tau ya?"tepukan pada betis tentu meluruhkan seluruh khayal.

"Iya."

Diam-diam mengeratkan pegangan pada tas Adi. Taruna itu jelas tak sadar. Hanya sibuk pada jalanan. Kembali membuka dialog."Lingga."

"Hm, kenapa?"

"Saya baca ramalan rasi bintang saya tadi pagi, mau tau apa isinya?"ucapnya.

Alis Lingga bertaut,"Boleh, apa?"

"Akan ada kebahagiaan yang diam-diam akan datang, saya tak mengerti dalam bentuk apa. Apa jangan-jangan ada seseorang yang sedang naksir saya?"

Iya Ada Adipramana, pemudi ini orangnya.

Iya Ada Adipramana, pemudi ini orangnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DISTRAKSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang