6. Rasi Bintang

1.8K 374 5
                                    

Yogyakarta, 30 Juli 1990

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yogyakarta, 30 Juli 1990

Sudah beberapa hari berlalu, semuanya masih terlihat sama. Mereka masing duduk bersebelahan. Yang membedakan sekarang hanyalah perasaan Lingga yang sudah berbeda. 

Pelan-pelan banyak bibir yang berucap tak senang, agaknya membuat Lingga kian ciut. Berusaha untuk masa bodoh melihat taruna itu juga tak ingin ambil pusing. Apa mudi-mudi itu tengah menaruh jengkel dengannya hanya karena dia bisa sejengkal lebih dekat dengan Adi? kalaupun iya, lebih baik mereka urungkan. Adi pun tak akan menaruh rasa dengannya. 

Pembelajaran siang itu masih berlanjut, dengan atensi murid-murid yang berbeda pula. Ada yang menaruh fokus pada presensi Pak Yahya didepannya, beberapa ada pula yang asik dengan dunianya sendiri. Posisi Lingga saat ini tidak dikeduanya. Sedari tadi ain-nya bergerak tak nyaman, dengan bolpoin yang Ia ketuk tak beraturan. Semakin kesini tak bisa dibuat fokus, bahkan untuk melirik Adi pun rasanya Lingga tak sanggup. 

Taruna itu tampak fokus, jelas memperhatikan dengan baik. Terlihat tenang sedari tadi seakan tak menyadari ada deru badai dikalbu Lingga begitu memperhatikan figuranya dari sudut mata. 

Ia merunduk, memainkan lembar-lembar pintar ditangannya itu dengan raut tak berminat untuk mengais pengetahuan. Lagipun Lingga lupa bawa kacamatanya hari ini saking buru-burunya, alhasil, tak ada satu gurat pun yang bisa Ia tangkap didepan sana. 

Lingga pikir akan jauh lebih baik kalau Ia angkat kaki, toilet atau ruang kesehatan mungkin mau menampungnya untuk saat ini. Ia mendongak bersamaan buku tulis disodorkan kehadapannya. Tentu saja Adipramana pelakunya.

"Kamu keliatan lagi kebingungan, mau pinjam catatan saya? saya sudah selesai."Adi makin mendorong buku tulisnya, sementara Lingga memasang ekspresi linglung. 

Taruna itu sepenuhnya menghadap kearahnya, menunggu respon Lingga sementara Ia masih mematung layaknya orang bodoh. Perasaannya sudah jauh dari kontrolnya, apa-apaan? kontrol diri kamu Lingga!

"Kok melamun?"Ia kembali tersadar, kala Adi menepuk punggung tangannya. Tangannya. . .oh tuhan."Nampaknya kamu sering melamun ya, Ah. Ngomong-ngomong kacamata mu mana?"

"Huh? a-apa?"gagap pemudi itu. 

Detik berikutnya taruna itu terkekeh,"Kamu memang suka melamun ya?"

Lantas Ia menggeleng, diam-diam malah menikmati paras Adi dalam jarak sedekat ini."Kacamata ku tinggal. . ."sebisa mungkin memelankan suara, harap-harap tak mengganggu yang lain. 

"Kalau begitu kamu bisa salin catatan saya dulu, nih. Silahkan."Ia kembali merapatkan buku miliknya kehadapan Lingga yang masih tak habis pikir dengan tingkah taruna itu. Mau tak mau menerima. Sementara lawan bicaranya itu sudah merebah kepala, memejam kelopak gandanya. 

"Kamu tidur Di?"ragu-ragu bertanya, agak gatal ingin mengguncang lengan Adi. Buru-buru Ia urung begitu sang empu buka suara. 

Ia mengusap hidung bangirnya terlebih dulu."Pejam mata sebentar, mumpung Pak Yahya belum menjelaskan."

Lingga tak lagi menjawab, lantas memfokuskan diri dengan bolpoinnya. Taruna itu merebahkan kepala, menghadap kearahnya. Bahkan dari sudut mata pun Lingga bisa lihat wajah damai Adipramana yang tengah memejam. Degup jantungnya kian menjadi, sial. Lingga tak pernah merasa segugup ini semasa hidupnya. 

Ia biarkan surainya jatuh, menutup akses pandang hingga figur taruna itu hilang dari sudut pandang. Seketika lega, kembali menaruh atensi pada catatan. Memperhatikan gurat tulis tangan milik Adipramana yang sangat rapi untuk ukuran seorang lelaki. Tulisannya tidak besar, tidak pula kecil. Pas untuk dibaca, dan tidak pula acak-acakan. Jelas sekali mencerminkan sikap perfeksionis pada Adi. Tanpa sadar tersenyum separuh, taruna ini nyaris sempurna. 

Surainya disibak, bukan. Adi menarik mundur surai Lingga, menyematkan pada daun timpani. Bolpoinnya berhenti bekerja, tertahan ditempat sementara Lingga membeku."Besok rambutmu diikat saja kalau kesekolah."taruna itu tarik lagi tangannya, Ia lipat dibawah pelipis. 

Ranumnya tak sanggup untuk membuka, hanya berdeham sembari menelan saliva. Ia merapatkan pigura, berlagak fokus padahal rautnya bertolak belakang sangat dengan isi kepalanya sekarang. Lingga jelas sadari taruna itu tengah memperhatikannya tahan Lingga, tahan. 

"Saya taurus."

"Hm?"

Taruna itu mengulang."Saya taurus, kamu?"

Sepersekon mencoba untuk paham, Lingga akhirnya manggut-manggut. Mendadak lupa dengan perihal sebelumnya."Aku scorpio."

"Scorpio. . ."kepalanya bangkit, gantian menaruh dagu pada lipatan tangan."Elemennya berbeda, bumi dan air. Dua-duanya sama kuat, tapi saling mengikat."

Taruna itu masih meneruskan."Dengan arti, dua-duanya cocok bersama."

Lingga manggut-manggut, berniat akan melanjutkan tulisannya sampai akhirnya tersadar setelah taruna itu memalingkan wajah. Meninggalkan tanda tanya. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DISTRAKSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang