She's Gone

999 63 13
                                    


Nickname : dipraal

Happy reading 🙌🙌🙌

*****

Musim Dingin Ke-18

Aku duduk, dia yang mendorong dari belakang. Aku ketakutan, dia malah tertawa. Namun, ada kalanya dia hanya mendorongnya dengan perlahan. Atau, dia juga ikut duduk di ayunan satunya. Dan akhirnya kita harus mendorongnya dengan kaki kita masing-masing. Disinilah aku bahagia.

Cerita menarik selalu keluar dari mulutnya dan aku selalu mendengarkannya. Aku memang bukan teman yang baik, tapi setidaknya aku bisa menjadi pendengar yang baik untuknya. Dia terlalu baik untukku. Ketika Ayahnya panen, ia selalu membawakanku tomat ceri yang rasanya sangat enak. Aku sangat menyukainya. Tapi, aku lebih menyukai Strawberry dan apa yang dia lakukan? Aku mendengar dari Ibunya, dia memaksa Ayahnya yang petani tomat untuk menanam Strawberry. Dia melakukannya untukku? Haha. Padahal itu tak perlu ia lakukan, karena dia pun tau, Ayahku petani Strawberry, aku bisa makan sepuasnya saat panen. Tapi, terima kasih. Hingga saat itu, dia masih melakukannya.

Setidaknya begitu sampai ayunan ini terhenti.

*

Ada saat, di mana kita hanya duduk terdiam di ayunan biasanya. Aku menunduk, dia pun juga. Tak ada yang berinisiatif membuka suara. Aku dan dia terus menunduk mengayunkan ayunan yang nyaris tak terlihat pergerakkannya. Tiba-tiba ia bangkit dan mendorong ayunanku dengan kencang. Aku berontak, tapi ia terus melakukannya. Aku hanya bisa memperkuat peganganku pada tali ayunan.

Bukan cerita menarik yang keluar dari mulutnya. Tapi isakan yang diiringi air mata yang keluar dari pelupuk matanya. Ayunan pun perlahan berhenti seiring isakkannya yang semakin menjadi-jadi. Aku turun dari ayunan dan menghampirinya yang sudah terduduk di atas rumput. Aku memeluknya dengan cepat. Dia pun membalasnya dengan erat.

Lima menit kemudian, ia meyodorkan kotak makan siang berukuran jumbo padaku. Aku menerimanya. Tomat ini lebih banyak dari biasa yang ia berikan padaku. Aku memakannya, dia ikut mengambil satu buah dan memakannya juga. Aku menatap matanya, yang masih ada sisa air mata di sana.

"Ada apa?" Tanyaku hati-hati.

"Aku jarang melihatmu menangis seperti tadi," lanjutku masih dengan nada hati-hati. Dia menggeleng lemah. Aku mengalah, membiarkan dirinya tenang dan mau bercerita. Aku terus memakan tomat ceri yang ia berikan. Sekilas ku lirik dia dengan ujung mataku. Terlihat ia sedang menggigit bibir bawahnya. Ia sedang tidak baik-baik saja. Tapi, aku tetap membiarkannya. Membiarkannya bercerita dengan sendirinya. Aku tak ingin memaksa.

Dia merebahkan tubuhnya kebelakang dan terus pada pendiriannya, diam. Diam, diam, dan terus saja diam.

*

Sampai pada decit jungkat-jungkit di seberang pandanganku, membuyarkan semua. Aku mendengus. Rasanya baru beberapa detik yang lalu hawa dingin dan guguran salju, mengajakku mengingat sikap anehnya kala itu. Menyedihkan. Aku masih belum ingin meninggalkan kota ini. Lebih tepatnya tak ingin meninggalkan cerita yang telah dibuat. Taman, ayunan, jungkat-jungkit, pohon sakura, dan tomat.

Dering telepon yang masuk membuat dudukku di ayunan ini terusik. Aku harus segera pergi. Meski dalam hati, masih ingin di sini.

***

Aku berdiri menanti pintu kereta terbuka. Ragu untuk benar-benar masuk ke dalam kereta yang nantinya akan membawaku pergi jauh dari kota ini. Setelah benar-benar terbuka, aku terdiam, menunda tubuhku merasakan suhu hangat di dalam kereta. Udara musim dingin semakin menusuk, membuat percuma mengenakan mantel tebal. Aku mendengus sebelum benar-benar memasuki gerbong kereta ini.

MeL1ds DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang