Part 16. Jealous

1.5K 141 13
                                    

Author Point of View

00.30 Am

Drtt..drtt...

'Baby..this is what you came for..'

El mendengus sebal saat suara berisik itu menginterupsinya hingga membuyarkan mimpinya yang indah. Bahkan ia sempat mendengar Justin terganggu dan sedikit menggerutu.
Dengan susah payah ia membuka matanya, tanpa harus menyesuaikan cahaya terlebih dahulu karena masih remang-remang. Namun harus menyesuaikan diri merasakan betapa dinginnya malam ini ditambah jendela masih terbuka lebar, dan jangan lupa jika Justin juga menghidupkan AC. Mungkin dia ingin membekukan diri mengingat akhir-akhir ini kepalanya terasa mendidih.

Beranjak duduk, El menyisir beberapa anak rambut yang menutupi wajahnya. Tali rambutnya entah berada dimana, lalu menatap tubuhnya yang hanya mengenakan bra dan dalaman saja. Ternyata bukan mimpi. Ia benar-benar melakukan apa-apa dengan Justin.

Matanya menatap jam dinding. Jam berapa ini?.

El mengambil ponselnya di atas meja.
Namun sebelum sempat melihat siapa yang sedang menghunginya, ponsel itu sudah mati. Menandakan jika sambungannya terputus.

Nomor ini.

Batinnya seraya matanya menyipit karena cahaya dari ponselnya. Nomor yang sempat mengirim pesan padanya sore tadi dan ia menghapusnya saat itu juga. Nomor ini meneleponnya?. Di tengah malam seperti ini? Siapa pemilik nomor itu dan apa maunya ia tidak tahu. Dia pikir hanya salah sambung kemarin, jadi ia tidak terlalu peduli. Atau mungkin orang itu belum sadar jika ia sedang salah nomor?. El perlu menjelaskan jika ada panggilan lagi.

Ia menguap, menyingkap selimutnya, lalu beranjak berdiri menjauh dari tempat tidur itu. Rasa dingin lantas menjalar pada telapak kakinya. Ia segera melangkah dengan sedikit berlari menuju kamar mandi.
Entahlah dimana dress nya.

Sebenarnya ia tidak akan bangun mengingat tubuhnya terasa remuk dengan pegal-pegal di mana-mana, namun ternyata rasa lapar di perutnya memaksa, ditambah lagi suara ponselnya yang mengganggu. Anggap saja itu alarm untuk sarapan. Ini sudah masuk waktu pagi, bukan?

El bergidik merinding saat tubuhnya merasa kedingingan, dan segera mengambil jubah mandi tebal berwarna putih milik Justin, lalu mengikat talinya tidak terlalu erat. Rasa lembut dan hangat menjadi satu membalut tubuh rampingnya.

Beralih menuju westafel di dekatnya, kemudian ia mencuci wajahnya sebentar karena airnya justru terasa sedingin es. Meninggalkan rasa dingin juga di kulitnya.

El menatap ke arah cermin di hadapannya, melihat kedua matanya yang sedikit memerah juga wajahnya yang pucat. Ia mengusap matanya sekali, sedikit lelah dan masih mengantuk.
Lalu tatapannya turun lagi ke arah lehernya, dan dengan reflek ia berdeham berkali-kali. Menoleh ke arah kanan, ia bisa melihat tanda itu bersarang di sana. Bagaimana mungkin ia menjadi tidak tega sendiri melihat keadaannya yang seperti itu.

Dengan kedua tangannya, ia mengarahkan seluruh rambutnya ke arah kanan, bermaksud menutupi sesuatu yang tampak memerah di sana. Dalam hati sedikit menggerutu, bukankah hal itu terlalu...menggelikan?
Bak sepasang remaja. Dan yang ada di fikirannya, ia menganggap dirinya sendiri layaknya korban.
Lucu sekali.

Bagaimana bisa saat ini ia menyalahkan laki-laki itu? Salahkan saja dirinya yang menyerahkan diri begitu saja setelah perdebatannya tadi malam. Tidak, bukan perdebatan. Hanya saja menyelesaikan masalah.

Masalah yang baru saat ini menurutnya tidak akan pernah selesai jika harus seperti ini terus menerus. Mengingat tentang permasalahannya itu, jika boleh jujur, ia belum sepenuhnya yakin dengan pernyataan Justin. Apa yang ada di dalam otaknya masihlah tetap sama.
Sedekat-dekatnya teman, tidak akan sampai seperti itu. Berbuat seperti itu. Sebebas itu.

[END] Behind The Camera [Justin Bieber]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang