Salah siapa?

2.3K 434 78
                                    

"Eh, eh, eh, kalian udah dengar berita dari kelas sebelah belum?"

Aku menatap Yasmin penuh minat. Maksudku, dia baru saja datang dengan super heboh jadi siapapun pasti akan tertarik untuk mendengarkan apa yang akan ia sampaikan. Dan Yasmin adalah pembawa berita terpenting nomor satu di kelasku.

"Kenapa, Yas?"

Yasmin menghela napas lalu menghembuskannya perlahan. "Kalian tahu Azka nggak?"

Kami mengangguk secara serempak. Siapa yang tidak kenal Azka? Cowok pendiam, cerdas, dan anak teladan di sekolah kami. Dia adalah murid kesayangan guru-guru, musuh anak-anak bengal, serta kenikmatan bagi manusia yang malas mengerjakan tugas.

"Masa, ya," Yasmin menatap kami semua, memancing rasa penasaran kami lebih dalam. "Dia...mengkonsumsi narkoba."

Hening seketika. Aku membiarkan mulutku terbuka lebar. Maksudku, yang kita bicarakan beneran Azka, 'kan?

Tidak ada yang berbicara sampai suara tawa canggung terdengar dari Aira. Dia menatap Yasmin dengan ragu. "Kamu...bercanda, 'kan, Yas?"

"Memangnya mukaku terlihat seperti orang bercanda?" balas Yasmin sewot.

Seperti dikomando, teman-temanku langsung heboh. Mereka sibuk membicarakan apa alasan Azka mengkonsumsi narkoba, sedangkan aku hanya menekuri semangkok baksoku. Aku masih tidak percaya. Kenapa Azka?

"Memang, ya. Sebaik apapun dia kelihatannya, tetep aja nggak bisa disembunyiin perilaku buruknya."

Komentar dari Andin mengalihkan tatapanku dari semangkok bakso. Aku menatapnya bingung. Maksudnya apa?

Pernyataan dari Andin diberi respon positif dari teman-temanku yang lain. Mereka menghujat Azka. Mengatakan bahwa kebaikan sikap Azka selama ini hanyalah kedok semata untuk menutupi kebiasaannya mengkonsumsi narkoba. Mengatakan bahwa Azka itu bukan cowok baik-baik. Mereka menghujat Azka seolah-olah mereka lupa bahwa Azka sudah beberapa kali membantu mereka. Mereka menghujat Azka seolah dia adalah manusia yang benar-benar nista.

Aku bangkit dari kursi dan pergi meninggalkan kantin. Mendengar mereka terus menyudutkan Azka, entah kenapa, ada bagian dalam hatiku merasa tidak terima. Aku tidak terima mereka menyudutkan Azka seolah mereka adalah manusia paling mulia yang tidak pernah berbuat salah. Dan entah kenapa, perasaan ini membuatku sekarang mengetuk pintu kelas XI IPA-1 untuk mencari seseorang yang dekat dengan Azka.

"Raihan ada?"

"Aku di sini."

Aku menoleh ke belakang dan mendapati cowok berambut cepak rapi menatapku heran. Dia mengernyitkan dahinya bingung.

"Aku mau nanya sesuatu sama kamu," jawabku.

Mendengar jawabanku, kernyitan di dahi Raihan hilang. Wajahnya langsung berubah datar. Sepertinya dia salah paham dengan perkataanku.

Maka dari itu, sebelum dia sempat mengatakan apapun, aku menarik tangannya dan membawanya menuju ke belakang sekolah. Dia terlihat ingin protes, tapi tak mengatakan apapun. Aku melepas genggamanku saat kami sudah sampai di belakang sekolah.

Lagi, sebelum dia mengatakan apapun, aku bertanya, "Jelasin kenapa Azka bisa kayak gitu? Aku yakin dia ngelakuin itu karna ada suatu alasan!"

Aku sungguh tidak tahu. Azka bukan temanku, tapi aku tidak terima kalau dia dihujat seperti itu. Aku hanya, entahlah, tidak menyukai teman-temanku yang terlalu cepat menarik kesimpulan.

Raihan diam sebentar, lalu mengalirlah alasan kenapa Azka mengkonsumsi narkoba. Alasan yang membuatku cukup terguncang sampai tidak sadar bahwa Raihan sudah berjalan pergi meninggalkanku. Alasan yang tidak pernah kusangka akan terjadi pada salah satu teman seangkatanku.

Azka terlahir di dalam keluarga yang keras. Dia selalu dituntut oleh orang tuanya untuk menjadi apa yang mereka mau. Bukan hanya itu, tidak jarang Azka mendapat kekerasan fisik oleh Ayahnya maupun Ibunya. Orang tuanya juga tidak pernah meluangkan waktu bagi Azka. Hal itu membuat dia ditinggal sendiri dengan pembantu yang sama buruknya dengan orang tuanya.

Azka kesepian.

Itulah kesimpulanku dan Raihan.

Raihan juga terus menyalahkan dirinya. Menyalahkan dirinya yang terlalu sibuk sehingga tak sadar bahwa pergaulan Azka semakin tidak beres. Menyalahkan dirinya yang tidak menyadari bahwa sikap Azka semakin lama semakin berubah. Menyalahkan dirinya yang tidak menemani Azka di hari-hari terburuknya.

Semua itu membuatku bertanya. Jadi, ini semua salah siapa?

Salah Azka?

Salah orang tuanya?

Atau salah kami yang tidak menghiraukan Azka?

Sekali lagi, ini salah siapa?

---END---

A/n

Aku balik lagi dengan cerpen yang kuharap pesannya dapat sampai pada kalian. dan kuharap juga cerpen ini tidak 'krik-krik'amat. semogaaa:"")

jadi, cerita ini terinspirasi dari novel kak orizuka yg judulnya the truth about forever. sumpah itu recommended ba-nget!

dah itu aja. semoga kalian suka yaa sama cerita ini:")

sampai ketemu di cerita selanjutnya!






Salah Siapa? [1/1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang