' ''Aku selalu berusaha baik-baik saja. Aku pun selalu berusaha membuktikan pada semesta bahwa aku kuat. Tapi, semesta justru tidak suka orang sok kuat.'' '
* * *
Jogja, 15 juli 2013
-
Pada akhirnya, aku benar-benar memutuskan untuk sekolah saja di Jogja. Meski sebenarnya aku merindukan Semarang. Kota yang pernah kusinggahi beberapa tahun lalu. Saat segalanya masih baik-baik saja. Saat aku masih bercerita tentang suka pada senja. Saat aku belum mengenal pahitnya kehidupan. Tidak seperti saat ini.
Aku satu sekolah dengan Bang Hara. Namun, bedanya diriku akan kelas 10, sedangkan Bang Hara akan menginjak kelas 12. Bang Hara bilang, ia banyak diminati banyak kaum Hawa. Dia bilang juga, jika dia tampan. Tapi, aku rasa tidak terlalu tampan. Sudahlah, membahas kata tampan hanya akan membuatku pusing. Dan mari kita lihat, apakah benar jika Bang Hara diminati banyak cewek atau tidak.
Aku diantar Bang Hara, ia belum masuk sekolah. Karena untuk hari ini, dan tiga hari ke depan akan diadakan acara MOS untuk siswa-siswi baru. Aku rasanya tak sabar, untung saja ada Marva. Jadi, aku tak perlu khawatir jika aku tidak punya teman nantinya.
Hari ini, hari pertama MOS. Aku sendiri, tidak tahu akan seperti apa. Apa aku akan tetap menjadi seperti gadis SMP seperti dulu, atau menjadi seseorang yang berbeda? Menurutku, aku adalah aku. Aku akan menjadi diriku sendiri yang kadang pendiam dan tidak terlalu berbaur dengan sekitar.
Mobil sedan yang kutumpangi ini berhenti di sebuah gedung sekolah yang lumayan besar. Bang Hara yang mengantarku, ia akan masuk sekolah tiga hari lagi. Ia menyuruhku turun dan segera masuk ke dalam. Ini sepertinya sudah telat, aku mencoba mencari benda yang menunjukkan jam sekarang. Tidak ada, aku sendiri tidak memakai jam tangan karena memang tidak suka. Tidak hanya jam tangan, aku tidak suka memakai benda aksesoris apapun.
"Bang, jam berapa?" tanyaku.
Bang Hara lalu melihat layar hapenya. "Tujuh lewat lima belas menit." Aku membulatkan mataku sempurna. Bagaimana bisa?
"Hati-hati. Ketua panitia MOS-nya kejam." Lanjut Bang Hara.
Aku meneguk saliva dengan susah. Sepertinya, hari ini akan mengerikan. Tanpa berpikir panjang, aku berlari menuju gerbang dan mendapati satpam yang sedang berjaga disana. Gerbangnya tidak ditutup. Wah, tumben sekali.
"Pak Satpam, saya telat. Boleh masuk nggak?"
"Boleh Neng, silakan." Jawabnya dengan ramah.
Aku tersenyum kecil kearahnya, dan bergegas memasuki gerbang. Awalnya, saat memasuki lorong depan tidak ada masalah. Sepi, karena memang sudah masuk dari tadi. Dan saat di halaman sekolah, aku menjadi pusat perhatian.
Lima kakak senior itu berbalik arah, dan menatapku dengan senyuman miring. Mereka seolah telah menemukan bahan untuk dijadikan penerima hukuman. Aku diam, tak bergerak sedikitpun. Tidak hanya kakak-kakak senior yang menatapkku. Begitu juga dengan anak-anak lain yang berbaris rapi di halaman sekolah.
"Sini!" salah satu dari senior itu memanggilku, aku mendekatinya. Aku melakukan apa yang ia suruh.
"Orang yang melakukan kesalahan, harus dihukum. Tak terkecuali dengan orang yang telat." Ucap satu kakak senior laki-laki dengan datar.
"Lari keliling halaman lima kali!" aku membulatkan mata sempurna. Halaman sekolah ini luas sekali, dan aku tidak mungkin bisa mengelilinginya sebanyak itu. Keringatku bercucuran, napasku tercekat. Belum apa-apa saja, kakiku sudah lemas.
"Jangan hukum dia!" suara lantang dari seseorang yang berada di barisan itu mengagetkan lima kakak senior di sampingku.
Marva.
Dia berjalan kedepan, menghampiriku dan kakak senior dengan wajahnya yang seperti biasa. Memakan permen karet, dengan wajah santai. Tapi, kali ini wajahnya sedikit songong. Itu membuatku ingin tertawa.
"Nggak usah sok pahlawan! Kembali ke barisan, atau kamu ikut dihukum?!" ucap kakak senior perempuan.
"Siapa yang sok pahlawan?" Marva membuang permen karet dimulutnya. "Lo kalo ngasih hukuman kira-kira dong! Lo buta apa gimana? Halaman sekolah ini luas bro! Dan lo nyuruh dia keliling lima kali!" Marva terkekeh. "Bego dipelihara."
Telihat, lawan bicara Marva itu mengepalkan tangan. Ia meraih lengan Marva, mendorongnya ke samping. Ia bermaksud menyuruh Marva kembali ke barisan. Namun, Marva sama sekali tidak bergerak. Gadis itu memang keras kepala.
"Saya akan tetap hukum dia," kata senior laki-laki sembari menunjukku. "Kamu nggak usah ikut campur!" ucapnya pada Marva.
"Oke! Kalo ada apa-apa nantinya, jangan larang gue buat ngehajar kalian berlima! Gue nggak main-main. Camkan perkataan gue baik-baik." Lalu Marva kembali ke barisan.
Salah satu dari mereka, mengambil tasku. Ia menyuruhku untuk cepat melaksanakan hukuman. Aku memulainya dengan lari yang pelan, lalu kemudian lari yang cepat.
Awalnya putaran pertama baik-baik saja. Kedua mulai terasa pusing dan berkunang-kunang. Napasku pun semakin pendek, lelah sekali rasanya. Aku ingin menunjukkan pada semesta bahwa aku baik-baik saja. Baiklah, hari ini tidak akan terjadi apa-apa.
Karena kakiku yang lemas tak tertahankan, aku menghentikan lariku. Lalu terduduk di tanah, kepalaku benar-benar pusing. Napasku pun terasa sesak. Terlihat dari tempatku, terjadi keributan diantara kerumunan murid-murid dan kakak senior. Samar-samar kulihat seorang perempuan yang memukuli tiga orang kakak senior laki-laki. Dan sempat menampar dua senior perempuan.
Perempuan itu terus memberontak. Mengacak-acak lima orang senior yang bisa kulihat dari kejauhan. Diakhir batas kesadaranku, perempuan itu berlari menghampiriku. Namun, belum sempat ia sampai, aku sudah tidak bisa membuktikan perkataanku pada semesta bahwa aku kuat.
* * *
BRAK!
Baru saja aku sadar dan belum sempat membuka mata, sudah terdengar suara keras. Seperti pintu yang dibanting dengan tenaga yang kuat. Perlahan kubuka mataku. Terlihat seorang gadis yang berdiri di ambang pintu dengan lebam dibagian bawah mata. Lalu kening yang terlihat memerah.
"Elisa!" panggilnya, lalu ia berjalan kearahku. "Muka lo pucat, udah makan?"
Aku mengangguk.
"Marva, ayo masuk kelas." Ajakku pada Marva. Ya, gadis yang bawah matanya lebam dan kening memerah.
"Bego, udah tau sakit. Udah gue bilang berapa kali? Nggak usah sok kuat! Nggak ada yang butuh sikap lo yang pura-pura kuat." Marva bedecak, ia terlihat kesal. "Udah deh, terima aja kalo lo ya emang gini. Capek tau nggak gue nge-bacot mulu, bilangin lo yang nggak pernah ngerti!"
Aku terdiam. Justru ia yang tidak pernah mengerti apa yang sebenarnya kurasa. Aku tau, aku ini cuma Elisa, yang selalu berusaha membuktikan pada semesta bahwa dirinya akan baik-baik saja. Tapi, nyatanya tidak. Ia hanya bisa bertumpu pada satu keyakinan yang mungkin memang tak bisa ia lakukan.
Airmataku perlahan menetes. Aku beranjak dari tidurku meski semua badanku terasa lemas dan kepala yang pusing. Aku tahu Marva baik, Marva khawatir padaku. Tapi aku tidak suka jika Marva berbicara kasar. Mungkin, ia berbicara kasar untuk orang lain itu memang sudah biasa. Tapi itu menyakitkan untukku.
Yang hanya bisa kulakukan sekarang hanyalah berjalan dengan terburu-buru. Tidak tahu tujuanku kemana, yang pasti aku berjalan melewati lorong untuk menjauhi UKS. Dan, beberapa kali menghapus airmata dengan kasar. Aku terus melewati kelas-kelas yang tak berpenghuni. Lalu kemudian sampai pada gerbang yang di dalamnya terdapat sebuah tangga. Aku rasa, aku sudah terlalu jauh berjalan.
Kuputuskan untuk duduk di lantai saja. Menunggu seseorang menghampiriku dan mengajakku pergi dari sini. Karena aku tak tahu aku dimana, di sekolahan bagian mana. Aku tidak tahu mana jalan kembali ke UKS.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir
Teen Fiction'Ini senja terakhir, untuk Elisa menyedihkan yang telah mati' © 2019 By @MeDandelion Cover by @fritzandrew0104