3 - Pulang

115 13 22
                                    

"Sekadar merindu pada masa lalu yang tak lagi bisa didatangi."

-

       Suasana jalanan Jogja dimalam hari cukup ramai. Aku kali ini hanya duduk manis di mobil dan menyaksikan kemana Bang Hara akan membawaku pergi. Sedari tadi ia hanya diam, akupun ikut terlarut dalam diamnya. Lalu tak lama kemudian, aku memulai pembicaraan.

"Bang."

Ia menjawabnya hanya dengan deheman.

"Pinjem hape dong."

"Gak."

Aku menghela napas kecewa. Selalu saja begitu, kenapa aku sendiri yang belum tahu benda pipih itu? Aku belum punya hape. Bang Hara bilang aku masih kecil, jangan pegang hape. Padahal kemarin ibu hampir saja membelikanku, namun dilarang oleh Bang Hara. Apa sih maunya dia? Aku tidak dibelikan, tidak juga dipinjami. Aku hanya ingin tahu apa isi benda pipih itu.

Yang hanya bisa kulakukan adalah menopang dagu menatap sekeliling jalanan. Tidak ada yang menarik. Hanya beberapa pedagang kaki lima yang berjualan, dan beberapa kendaraan yang lewat. Ada juga beberapa orang yang memainkan gitar di pinggir jalan. Ya, orang itu mengamen. Aku tidak tahu kenapa mereka melakukan itu semua.

"Bang, kenapa sih orang-orang itu pada ngamen?"

"Nyari duit lah, gitu aja nanya."

"Emang ibunya nggak ngasih uang?"

"Mana gue tau." Aku memutar bola mata malas.

Tak lama setelah itu, Bang Hara memarkirkan mobilnya di tepi jalan dan mengajakku memasuki sebuah warung makan. Warung makan yang sederhana. Biasanya orang jawa menyebutnya 'sego kucing' atau yang artinya 'nasi kucing'. Entah, kenapa orang-orang menamai begitu.

Tempat makan disini lesehan. Hanya ada satu meja berukuran sedang, dan kami duduk di lantai. Begitulah, sampai kami selesai makan. Bang Hara mengajakku pulang. Sepertinya benar-benar pulang, memangnya dia mau mengajakku kemana lagi?

Setelah beberapa saat, ternyata dugaanku benar. Kami pulang, aku buru-buru memasuki rumah dan mencari dimana ibu berada. Ternyata ia ada di dapur, sedang membuat teh. Aku lalu memeluknya erat dari belakang.

"Eh?" ibu sedikit terkejut. "Elisa?"

Lalu aku melepaskan pelukanku dan ibu membalikkan badan menatapku. "Ibu, maaf."

Ia hanya tersenyum, "Iya, Ibu kira kamu marah. Sampai-sampai pergi."

"Tidak," setelah itu, aku memutuskan untuk pergi ke kamar. Membersihkan diriku yang kotor dan bau keringat.

         Malam terasa sangat dingin dan mencekam lantaran hujan yang sangat deras dan petir yang kian menyambar. Aku duduk di meja belajarku, menatap buku ijazah-ku yang baru kudapatkan tadi. Aku menghela napas, sepertinya aku harus bercerita pada senja jika nilai ujianku pas-pas an. Tidak memuaskan sama sekali. Hanya 75,31. Padahal targetku itu delapan puluh keatas.

Itu saja aku sangat bersyukur bisa lulus. Bayangkan saja jika aju tidak lulus dan harus tetap tinggal kelas. Itu sangat menyedihkan.

Setelah ini, akan ada bulan puasa dan liburan sekolah. Aku tidak berniat pergi kemana-mana. Bayangkan saja jika bulan puasa, lalu pergi liburan ke suatu tempat, akan terasa sangat lemas.

"Elisa." Panggil ibu dari arah pintu. Aku menyuruhnya masuk, dan kami duduk di lantai. Tenang saja, lantaiku bersih. Baru saja kemarin aku membersihkannya.

"Ada apa Bu?" tanyaku.

"Kamu, ada tabungan tidak?" aku diam, menunggu perkataan ibu berikutnya. "Uang Ibu habis untuk beli obat Ayahmu. Dan persediaan bahan makanan buat kafe itu sudah habis."

Aku menghela napas. "Kenapa Ibu tidak minta saja pada Ayah? Dia itu kepala keluarga, yang harusnya ngasih nafkah ke kita. Bukan Ibu yang harus nafkahi dia."

"Elisa ...."

"Ibu kenapa sih mau diginiin dia?"

"Lisa, kamu akan tau alasannya jika kamu sudah mencintai seseorang." Aku terdiam, beranjak dari duduk dan membuka almari. Kuambil sebuah kotak berwarna hitam dan menyerahkannya pada ibu.

"Itu uang tabunganku, Ibu pakai saja."

Ibu tersenyum, "Terimakasih, Nak. Dan maafkan Ibu sudah menyusahkanmu."

"Tidak kok."Tak lama setelah itu, ibu pergi keluar dari kamarku.

Aku merebahkan tubuhku ke kasur begitu saja. Kenapa kehidupanku jadi seperti ini? Aku ingin kembali saja ke masa lalu dan menjalaninya dengan canda tawa. Namun, tidak bisa. Yang kubisa hanya mengharapkan masa depan yang tidak tahu akan seperti apa.

Aku berdiri, berjalan menuju kamar Bang Hara yang kebetulan berada di depan kamarku. Kira-kira sedang apa ya? Aku mengetuk pintunya.

Tok ... tok ... tok.

Sampai tiga kali. Lalu terdengar suara dari dalam. "Masuk." Aku masuk begitu saja. Kudapati Bang Hara sedang berada di meja belajar, memandangi layar laptop. Kelihatannya ia sedang menonton video. Entah video apa.

"Bang, nonton apa? Ikut nonton dong."

Bang Hara malah buru-buru menutup laptop nya. Aku mengernyit. "Kenapa?" tanyaku.

"Lo masih kecil woy. Nggak usah ikut nonton."

Aku diam saja, lalu berkeliling di kamarnya. Kali aja aku nemu sesuatu yang menarik, batinku. Mulai kubuka almarinya. Hanya ada baju, celana, dan tak ada sesuatu lagi. Aku beralih ke kasurnya, hanya ada bantal, guling, dan teman-temannya. Tidak ada yang menarik.

Yang kini bisa kulakukan hanyalah berbaring di kasurnya. Aku menatap langit-langit kamar Bang Hara. Sesekali melirik Bang Hara yang memainkan game dihapenya.

"Bang, aku pengen sekolah di Semarang." Ucapku. Ya, sebenarnya aku punya angan-angan ingin sekolah disana. Tapi, aku rasa ibu tidak akan memperbolehkan.

"Yaudah sekolah."

"Bang Hara enak, tinggal ngomong." Aku terdiam sejenak. "Banyak yang kupikirin kalau disana Bang."

"Apaan emang?"

"Perjalanan ke Semarang aku bakal naik pesawat sendirian. Disana aku bisa tinggal sih sama Nenek. Tapi nggak enak, ngrepotin. Dan masih banyak lagi."

Kulirik Bang Hara yang beranjak dari duduknya. Ia menghampiriku dan duduk tepat di sampingku. Sontak, aku pun ikut duduk di depannya. Ia sepertinya akan mengatakan sesuatu, dan aku siap mendengarnya.

"Lisa, gini, lo sekolah di sekolahan yang sama kayak gue apa susahnya? Sama aja kali. Pilih aja yang simple, toh sama-sama sekolah. Urip kok digawe ruwet¹."

Aku mengangguk, setelah dipikir, perkataan Bang Hara ada benarnya. Mungkin aku memang harus tinggal di Jogja sampai Tuhan mengizinkan diriku kembali ke Semarang. Lagipula, Jogja itu tidak buruk.

"Gue ke rumah Kean, lo di rumah aja." Aku berdehem, sembari menyaksikan punggung bang hara yang semakin lama semakin pergi dan menjauh.

Setelah beberapa saat, aku merasa bosan. Hingga kuputuskan untuk turun ke bawah dan menonton TV saja. Di ruang keluarga, tidak ada siapa-siapa. Aku duduk disebuah sofa dan menyalakan televisi di depanku.

Tak lama setelah itu, ayah datang dengan membawa segelas teh. Ia duduk di sampingku. Aku bergeser untuk tidak dekat dengannya. Ya, meski itu ayahku. Sama saja, aku membencinya.

"Kenapa sih nggak mati-mati." Gumamku.

"Apanya yang mati?" ternyata ayah mendengar. Aku memutar bola mata malas.

"Apa sih." Aku kembali fokus pada televisi di depanku. Lalu, kulirik ayah yang sedang meminum tehnya. "Yah, minta duit dong."

"Minta Ibumu."

"Bilang aja nggak punya, makanya kerja!" ucapku lalu beranjak pergi meninggalkannya.

*   *   *

¹ = 'Urip kok digawe ruwet' , dari bahasa jawa padinan (sehari-hari) yang artinya 'hidup kok dibuat rumit'.

Senja TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang