Allahuakbar allahuakbar
Adzan berkumandang. Ayam berkokok. Bulan masih setia menemani. Langit hitam sedikit pudar dengan biru tua. Deruhan angin membelai lembut pepohonan hingga mereka terdayu-dayu. Pagi buta dengan sejuta keindahannya membuat kalbu tergetar.
"Cipus bangun, bukankah ini hari pertamamu masuk SMA? Bangunlah dan sholat" suaranya tidak lembut, tapi membuatku terbuai, ingin kupejamkan mataku lagi dan mendengar suara itu sekali lagi.
"Yah bangun, sudah subuh, sholatlah dan berangkat kerja" suara itu lagi, terasa sedikit jauh dari telingaku, lirih.
"Pus bangun! Sholat lalu siapkan semua kebutuhanmu untuk sekolah! Ayah bangun, sudah pagi mau sampai kapan tidur?" suara itu lagi, kini terdengar sangat jelas, memang tidak lembut tiap kata sedikit terselip amarah kecil, mataku membelalak mendengarnya, mungkin aku tak butuh cuci muka karena wajahku sudah segar dengan hanya mendengarkan suara itu, telinga yang mendengarnya tapi rasanya seluruh tubuhku bergejolak karenanya.
Suara itu juga tidak kasar, mungkin sedikit mengancam jiwa.
"Rapikan tempat tidurnya! Ibu akan melihat adik" kalian bisa menebaknya bukan, ibuku, ya pemilik suara tidak lembut tadi.
"Iya" jawabku singkat.
"Ayah mandi dulu, kamu wudhu dan sholatlah cepat" malas dan mengantuk terdengar jelas saat ia berucap, tapi tetap tegas.
"Hmm" jawabku tetap singkat.
Aku mengambil wudhu sebelum kamar mandi digunakan Ayah.
Mukena putih dengan beberapa hiasan bunga merah muda kukenakan, lengkap dengan sajadah yang kutenteng ditangan kanan. Langkahku malas, aku menyeret setiap langkah demi langkah menuju masjid. Masjid memang sudah sepi, tak ada orang yang berjamaah lagi, tapi aku harus sholat disana meski sendirian, jika tidak mungkin akan ada hal buruk yang menimpaku nanti. Aku percaya bahwa saat meminta perlindungan yang kuasa dengan berkunjung ke rumahnya meski sendirian, ketika pulang aku akan mendapat berkah yang tak terduga. Begitulah caraku percaya pada Tuhan.
*--*
"Belikan ibu gula jawa, kembaliannya untuk uang sakumu"
"Hmm, adik hari ini sekolah kan?" tanyaku penasaran.
"Ah iya, adikmu akan mulai sekolah pertamanya hari ini, Mak Kar yang akan mengantarnya"
"Ohh.." jawabku dengan sedikit kecewa.
Ya, keluarga kecilku tidak berada dalam satu atap. Ayah, ibu, dan aku berada dalam atap yang sama. Sedangkan adikku berada di dalam atap orang lain. Keluarga kami tidak berantakan, tapi memang begini keadaannya. Adikku dirawat oleh dukun bayi desa, sejak ia lahir. Ayah dan ibu bekerja siang malam hingga tidak ada waktu untuk merawatnya. Walau begitu, ayah dan ibu selalu memberinya kasih sayang yang cukup. Aku juga sibuk dengan sekolahku, tapi aku bisa melihatnya meski sebentar. Aku masih bisa menggendongnya dan bermain dengannya, aku menyayanginya. Sebenarnya aku tidak suka adikku berada ditangan orang lain. Telingaku tidak pernah sepi dengan omongan buruk orang mengenai adikku yang dirawat orang lain. Namun, aku selalu ingin bersikap lebih dewasa dan memilih untuk tidak memberontak.
"Aha masa? Mana mungkin dia begitu, tapi memang pantas sih, hehe"
"Iya, saya juga kaget"
"Seharusnya tidak begitu, tapi sudahlah"
"Kalau ini tersebar mungkin akan jadi berita besar, ya kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Dreamer
Non-FictionAku bukan orang yang kuat, bukan juga lemah. Hanya saja aku terlalu menikmati segalanya dengan PERASAAN. Tidak! Bukan baper, ini seperti perasaan yang selalu melibatkanku dalam segala situasi. Benci cinta suka duka segalanya ada. Bukankah itu peras...