"Sebenarnya aku sedikit takut saat ingin bicara denganmu tadi" ucap Rein disepanjang jalan menuju ruang kelompok para siswa baru.
Para siswa baru telah dibagi menjadi sepuluh kelompok dengan nama-nama tumbuhan.
"Kenapa? Aku menakutkan?" tanyaku kebingungan.
"Ah tidak, bukan begitu, hanya saja aku tidak terbiasa akrab dengan orang yang baru kukenal" jawabnya melegakan. Bukan lega karena dia sama denganku, tapi lega karena mungkin kami akan belajar bersama untuk tujuan yang sama.
"Hmm, aku paham itu, aku juga seperti itu, aku memberanikan diri untuk mengajakmu bicara karena aku lihat kamu sepertinya orang yang asik untuk diajak berteman" aku tersenyum ketika mata kami saling bertatap.
Langkah kaki kami terhenti di depan pintu biru bertuliskan 'Anthurium Group', kami sampai di ruang kelompok.
"Silahkan masuk, carilah tempat duduk yang kalian mau" remaja cantik dengan hijab abu-abu berkata demikian sembari tersenyum.
Name tag merah dengan goresan nama, Adityana Citra. Mungkin ia kakak tingkat tepat diatasku, kelas 11. Ia cantik, senyumnya terlihat tulus saat mempersilahkanku masuk.
Baru selangkah aku ingin masuk ruangan, tiba-tiba
Brak
"Huh huh.. Maaf, aku minta maaf, kamu baik-baik saja?" seorang remaja pria menabrakku dari belakang, ia terlihat sangat terburu-buru.
"Ah iya nggak apa kok" lekas aku berdiri dan masuk ke dalam ruangan.
"Citra kita akan tamat, kelompok kita akan digabungkan dengan kelompok kakak tingkat kelas 12" sedikit terbatah-batah tapi jelas, aku mendengarnya dari dalam ruangan.
Kenapa harus tamat? Memangnya kanapa kalau digabung? Kedua pertanyaan itu menggelayut dalam pikiranku saat langkahku perlahan menjauh dari mereka berdua. Aku memandangi kedua remaja itu, wajah keduanya begitu cemas. Dari balik jendela aku berdiri dan mencoba melihat name tag laki-laki yang baru saja menabrakku. Zac..ky Pra..gi.. Pragiwaksono, ah Zacky Pragiwaksono—namanya. Warna name tag -nya sama dengan milik kak Citra, mereka setingkat.
"Hei!" badanku sedikit terguncang, kaget.
Ada yang menepuk pundakku dengan sedikit keras dan tiba-tiba.
"Ah Rein, bikin kaget saja"
"Kamu ngapain? Kita duduk di sebelah sana saja"
"Oh hmm, duduklah dulu, aku ingin tahu apa yang kakak-kakak itu bicarakan"
"Kamu kepo ya!" nadanya sedikit lebih tinggi dari biasa saat ia bicara.
Tanganku langsung membekapnya.
"Jangan keras-keras, kalau mereka mendengar kita akan dianggap tidak sopan" bisikku pada Rein, mata Rein hampir copot menatapku, napasnya hampir habis karena bekapanku.
"Aku akan diam, lepaskan tanganmu" dadanya mengembang kempis dengan cepat, ia hirup oksigen dengan cepat.Wajah Rein terlihat sedikit merah, mungkin dia marah. Dengan wajah yang kesal ia menghentakkan kakinya dan mulai melangkah menuju bangku yang akan kami duduki bersama. Aku tersenyum simpul melihatnya.
Aku seperti menatap cermin saat melihat Rein, ia tampak sama denganku. Kami baru saja kenal beberapa saat lalu. Entahlah, rasanya aku lupakan hal itu, aku bersikap seolah kami saling kenal sudah lama.
Kembali kepengamatan utama.
Kedua kakak itu masih saja berbincang. Tak sedetik pun aku melihat senyum diantara keduanya. Mereka sangat serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Dreamer
Non-FictionAku bukan orang yang kuat, bukan juga lemah. Hanya saja aku terlalu menikmati segalanya dengan PERASAAN. Tidak! Bukan baper, ini seperti perasaan yang selalu melibatkanku dalam segala situasi. Benci cinta suka duka segalanya ada. Bukankah itu peras...