I. Hujan di Hari Minggu

75 3 0
                                    


Siapa yang tidak menyukai masa SMA? Masa putih abu-abu yang memorinya akan kita ingat sepanjang masa, bahkan sampai kita hidup dengan tujuannya masing-masing. Aku sendiri selalu ingat bagaimana cerita antara aku dengan gadis yang kini berada di genggamanku,

Aku meningat setiap detil memoriku bersama dia di masa SMA. Ketika aku berkenalan dengannya, mengajaknya makan siang di kantin depan sekolah, mengajaknya pulang bersama, dan pastinya aku mengingat saat aku meyatakan perasaanku. Tidak lupa ketika aku dan dia memutuskan untuk jalan sendiri-sendiri.

Gadis itu teman sekelasku, dan dia mendapat gelar sebagai mantan pacarku. Namanya Diandra Utari. Bagiku, Diandra adalah gadis paling dingin yang pernah aku temui. Perkataannya tajam, nyelekit di dada, dan menusuk di hati.

"Apa sih? Engga kapok udah aku siram cucian piring kantin?"

Perkataan itu adalah satu dari sekian ucapan yang sering Diandra serukan untukku. Juga air cucian piring yang ia maksud benar-benar disiramkannya padaku. Namun dari seluruh keganasannya, selalu ada satu hal yang membuatku jatuh cinta lagi dan lagi.

****

"Kaivan! Hari ini futsal jam 5!"

"Oke!"

Suara dari Gio di depan kelas membuat perhatianku dari tas teralihkan. Sebagai murid baru, tidak banyak yang bisa aku lakukan. Mungkin istilah jawanya, sungkan. Karena jelas statusku masih anak baru gede yang masuk ke sekolah menengah atas.

Setelah pelajara ekonomi yang membosankan itu berakhir, buku-buku tebal langsung aku lempar ke dalam tas. Tidak sabar ingin merasakan kasur empuk yang seharian ini aku tinggal di kamar.

Langkahku baru sampai di meja kedua dari depan sebelum akhirnya mataku menangkap sosok gadis yang asik membaca novel roman picisan. Aku menoleh ke arahnya, sedikit membungkuk untuk melihat siapa dia.

"Kenapa?" tanyanya dengan suara yang benar-benar datar. Aku berdehem sejenak sebelum akhirnya menjawab,

"Engga balik? Penunggu disini mau nempatin ini kelas," candaku garing. Suasana canggung menyelimuti, membuatku berdehem lalu melanjutkan, "Mau balik bareng ngga?"

"Engga, makasih."

"Yakin? Bentar lagi hujan dan aku yakin kamu engga mau sakit karena kebodohan kamu sebagai cewe menye."

"Sialan."

"Sip, aku tunggu di parkiran."

Gadis barusan bernama Diandra. Tiga bulan menjadi teman sekelasnya, cukup membuatku tahu betul soal gadis pendiam itu. Yang aku hafal soal Diandra hanya 3, yaitu dia pendiam, galak, dan suka membaca. Diandra bukan tipe gadis populer yang memoles wajahnya dengan make up mahal. Namun, Diandra adalah gadis sederhana yang berwajah manis, tanpa make up dia sudah luar biasa.

Aku suka padanya? Ya, aku menyukainya. Tidak ada yang menyadari itu terutama Diandra sendiri. Bahkan Gio, sahabat karibku tidak tahu sampai detik ini. Tiga bulan menjadi teman sekelasnya sudah cukup membuatku jatuh hati padanya. Mungkin akan sedikit kuceritakan bagaimana Diandra bisa menarik perhatianku.

****

Sangat jelas di otakku jika hari itu adalah hari minggu. Hari bermalas-malasan sedunia yang menjadi rutinitasku. Namun minggu itu berbeda. Aku benar-benar disibukkan oleh kegiatan sekolah yang sedang berulang tahun. Seharian kami, sebagai murid dan partisipan, disibukkan dengan lomba dan kegiatan tambahan yang sekolah berikan.

Sore di hari minggu itu sedang hujan, aku dan teman sekelas yang lain baru selesai mempersiapkan lomba selanjutnya. Kami semua pulang dengan kendaraan dan tebengan masing-masing. Tapi tidak dengan Diandra.

Roman PicisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang