Strength

112 10 4
                                    

Setiap orang punya batas kekuatannya masing-masing.

***

Ini mimpiku, atau lebih tepatnya aku berharap ini mimpi. Tatapan dan bisikan-bisikan mereka membuatku ingin melarikan diri, sejauh mungkin dari dunia. Tapi ini nyata, ini di sekolah. Bukannya melarikan diri dari dunia, ruang BK adalah tempat yang aku tuju saat ini. Kepalaku tertunduk, memandangi sepatu-sepatu yang berjalan di depanku.

Keningku berdenyut, rasa sakitnya menjalar ke ujung mata kiriku. Aku tak berani menyentuhnya untuk yang kedua kali, takut membuatnya semakin parah. Tapi tak apa, hal ini sudah biasa.

Namaku Emi, dan aku korban kekerasan di sekolah.

Di jaman yang serba canggih ini, masih ada orang-orang yang berpikiran dangkal. Sayangnya, orang-orang seperti itu justru menjadi yang teratas di rantai makanan SMA. Aku... yah, aku adalah rumput. Makhluk hidup pertama yang akan mati, entah karena di makan binatang atau diinjak.

Ruang BK,  akhirnya aku di sini. Ada tiga pasang mata guru yang sedang menatapku dari atas ke bawah, mungkin bertanya-tanya dalam hati mereka. Entah apa yang mereka pikirkan, tapi aku lebih khawatir tentang nasibku.

Bu Sumarningsih duduk di kursinya, sementara meja kayu memisahkan kami. “Coba ibu mau dengar ceritanya dari kalian dulu,” katanya, suaranya lembut seperti wanita paruh baya yang sangat menyayangi anak-anaknya di rumah.

Benar, “kalian”. Aku tidak sendirian, ada tiga cewek lagi yang ikut bersamaku ke ruang BK. Jani, Muthia, dan Nia. Cewek-cewek keren, cewek-cewek yang punya banyak teman dan jadi yang tertinggi di rantai makanan SMA.

“Kita bertiga sedang mengobrol sambil makan, Bu. Lalu Amel meminta minuman ke Nia, karena jaraknya jauh jadi Nia lempar botol minumnya. Emi tiba-tiba berdiri, jadi kena dia deh,” Jani menceritakan kebohongannya dengan sangat lancar.

Aku meliriknya, dan melihat wajahnya yang murung di balik rambut coklatnya panjangnya yang terurai. Jika saja aku tak mengenalnya selama dua tahun terakhir, aku pasti sudah jatuh ke perangkapnya.

Bu Sumarningsih menatapku. “Tapi kata Bu Lilis, kamu yang melempar-lempar botol di kelas. Jadi gimana Emi?” tanyanya.

“Nia melempar botol minumnya ke kepala saya dengan sengaja, Bu. Saya hanya mencoba membalas dengan melempar balik botol minumnya. Kebetulan Bu Lilis sedang lewat saat saya melemparnya,” jelasku. Suaraku mantap, tatapan mataku langsung tertuju ke mata Bu Sumarningsih.

“Bohong, Bu!” jerit Nia begitu aku selesai dengan penjelasanku. Suaranya bergetar, dan aku bersumpah melihat matanya yang berkaca-kaca. “Buat apa saya lempar-lempar botol ke kepala orang?”

Tangis Nia pecah, kulitnya yang sebelumnya putih jadi sedikit memerah. Jani dan Michelle menepuk-nepuk punggungnya, menenangkannya. “Emi, kok lo jahat banget sih nuduh orang yang aneh-aneh kayak gini?” teriak Muthia.

Aku tak menoleh, pandanganku lurus ke arah Bu Sumarningsih yang menatap kami berempat secara bergantian. Keningku berdenyut lagi, mungkin sekarang sudah memerah atau membiru.

“Udah Nia, kamu jangan nangis di sini. Nianya kan enggak sengaja, Eminya salah paham. Ayo pada minta maaf,” kata Bu Sumarningsih dengan entengnya.

Penampilan bisa menipu, jabatan bisa berbohong dan kebijaksanaan tidak bisa di dapat oleh sembarang orang.

Dadaku seperti terbakar, panas. Begitu juga mataku, dan kali ini rasanya aku yang akan menangis menggantikan Nia. Pikiranku kosong, dan aku tidak bisa berkata apapun. Karena aku tahu, sebanyak apapun kata-kata yang akan aku lontarkan tidak akan bisa merubah kenyataan.

UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang