Kandidat No.1

295 20 0
                                    

Hari ini matahari dengan gagah menampakan dirinya, kekuatannya terasa menyengat tak kenal lawan. Aku mundur beberapa langkah, meneduh di bawah kanopi rumah makan di persimpangan jalan. Dari sini aku bisa melihat semuanya, iring-iringan mobil hitam yang lamban di jalan raya yang sudah di blokade.

Suara riuh rendah menyambut mereka, semakin meninggi di setiap detiknya. Tak ketinggalan beberapa pria bertubuh kekar yang dibalut setelan hitam, tangan mereka bergerak ke kanan dan ke kiri, menghentikan para rakyat yang terlihat mengganas. Beberapa petugas kepolisian juga terlihat berjaga, tapi tidak sebanyak pengawal pribadi. Mereka juga tidak terlihat serius, kelihatannya hanya berjaga-jaga jika ada kerusuhan.

“Dia kandidat terkuat di periode ini,” kata pria paruh baya dengan kumis tebal dan kulit hitam gosong yang berdiri di sampingku.

“Tentu saja, calon-calon lain tidak sebanding dengannya,” balas pria tua yang berdiri di sisinya.

Aku mendengus mendengar pembicaraan mereka.

Iring-iringan itu berbelok memasuki gedung sebelum hilang dari pandangan sementara suara-suara itu perlahan menipis. Aku menunggu, mengawasi sekeliling dalam diam. Para pengawal itu, mereka kelihatannya serius dengan pekerjaannya. Aku menghitung, sebelas, dua belas. Ah, hanya itu yang terlihat untuk saat ini. Kuturunkan topi hitam di kepalaku saat satu pengawal melihat ke arahku, aku tak mau mereka mengenaliku.

Kurogoh saku jaket denim yang kukenakan saat ini, kukeluarkan selembar kertas terlipat. Kubuka kertasnya, memastikan ini kertas yang benar lalu memasukkannya kembali. Kurogoh lagi saku yang lain, benda kotak itu masih ada. Kini tinggal menunggu kesempatan.

Ketika teriakan-teriakan memuja itu kembali terdengar, kakiku tanpa sadar melangkah maju. Aku mendekat, mataku mencari-cari. Saat rombongan biru-biru menampakan dirinya, pandanganku mulai nanar.

Aku melihatnya, dibalut kemeja biru dongker dan celana bahan putih. Rambutnya yang lurus dan panjang dikuncir ekor kuda, hitam mengkilap diterpa sinar matahari. Dia dan beberapa orang lainnya menaiki singgasana—panggung mewah di tengah-tengah jalan, lengkap dengan tirai-tirai biru, kursi-kursi, pengeras suara, dan peralatan pedukung lainnya.

Mataku terpaku padanya, memandang matanya dari kejauan yang tak melihatku sama sekali. Tangannya melambai-lambai, melempar senyuman ramah, persis seperti yang kedua orang tuanya lakukan.

Kini aku memasuki kerumunan, bersama para rakyat menggelikan. Aku yakin, tujuan mereka ke sini hanya karena ingin minta sembako atau uang dari calon terkuat tahun ini. Aroma matahari dan keringat bercampur aduk datang dari segala penjuru arah, juga sikut-sikut yang menyerang membabi buta.

Berada di tengah-tengah kerumunan ini adalah salah satu penyesalan terbesarku, betapa aku berharap tidak pernah berada di posisi ini. Namun saat kulihat lagi wajahnya, aku tahu, semua ini akan terbalaskan nanti.

Bagai karang di tengah-tengah lautan manusia, aku bergeming sekuat yang kubisa. Tapi itu tak akan berhasil. Jadi aku melangkah, maju setiap ada celah. Beberapa kali aku mendorong orang-orang gila ini, yang berteriak menyerukkan nama partai bodoh tepat di telingaku.

“Sebagai calon presiden kalian...”

Kalimat itu terdengar dari pria yang terlihat kebapakan, keriput di wajahnya tak bisa memadamkan percikan semangat dimatanya. Di sisi lain aku sangat mengagumi sosoknya, tapi aku juga mengutuknya. Mengutuk rencananya menyelenggarakan kampanye hari ini. Mengutuk keputusannya—

“Awas!” seorang ibu mendorong tubuhku dengan keras ke belakang. Tangannya penuh, tangan kiri menggendong bayi laki-lakinya, tangan kanannya memegang bendera partai. Riasan wajahnya benar-benar tidak karuan, bedaknya yang keputihan sudah luntur karena keringat.

UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang