Love hunt me down
I can't stand to be so dead behind the eyesMedia: Touch - Daughter
*****
PERNAHKAH kau melakukan sesuatu yang salah? Yang sangat salah?
Aku pernah. Dan yang kulakukan ini, mungkin lebih gila dari apa pun fantasi terliar anak-anak sebesarku pada saat itu. Mungkin lebih tepatnya bukan melakukan, tetapi merasakan. Yang dari 'merasakan' itulah, memunculkan berbagai macam masalah dalam hidupku.
Kesalahan itu dimulai ketika aku duduk di kelas empat sekolah dasar. Umurku saat itu masih sembilan tahun.
Adalah aku, yang lahir sebagai anak dari pasangan yang super sibuk pada pekerjaan. Ayahku adalah seorang CEO perusahaan properti ternama di Asia Tenggara, sedangkan ibuku adalah pemilik brand fashion berkelas dunia. Aku tidak berlebihan, hanya saja memang begitu kenyataannya. Ayah dan ibuku sama-sama workaholic sejak muda. Dari cerita nenekku, ayah dan ibuku bahkan tidak kunjung menikah sampai akhirnya dipaksa orangtua masing-masing, ketika umur mereka sudah 30 ke atas. Ya, orang tuaku menikah atas dasar perjodohan. Namun, ya ... jika dilihat-lihat, tetap ada cinta yang tumbuh di antara keduanya. Sejak kecil, aku sudah terbiasa diurus pembantu. Jangan bayangkan hidupku bahagia dengan dilimpahi harta. Hidupku justru sangat kebalikannya dengan yang ada di bayangan setiap orang. Sampai umurku saat ini, aku bahkan lupa kapan terakhir kali menghabiskan waktu bersama keluargaku. Pasti sudah lama sekali. Jika kalian menginginkan kehidupan mewah penuh harta melimpah, namun tanpa kasih sayang dari orang tua, mari bertukar denganku. Aku tentu lebih memilih kehidupan sederhana, asal kedua orang tuaku melimpahiku kasih sayang.
Kupikir, semakin aku beranjak remaja, aku akan terbiasa dengan keadaan ini, namun aku salah. Semakin aku remaja, aku semakin tidak bisa menerima keadaan. Aku semakin marah pada kedua orang tuaku. Aku sudah tidak bisa lagi memegang simulasi-simulasi 'ayah dan ibu sebenarnya sayang padaku, namun mereka jarang menunjukkannya' yang sejak kecil kutanamkan pada diri sendiri. Kenyataan ternyata lebih pedas dari simulasi-simulasi itu. Aku semakin tidak bisa menghadapi kenyataan bahwa anak-anak lain di sekitarku, sejak aku kecil, selalu meremehkan bahwa aku tidak punya orang tua. Mereka mengejekku. Melecehkanku. Meskipun sudah lebih dari seribu kali kukatakan bahwa aku punya orang tua, hanya-saja-mereka-sibuk-bekerja, namun yang mengejekku tidak pernah percaya. Aku pun harus membunuh rasa iriku, ketika melihat anak-anak yang lain diambil rapornya oleh orang tua, dibekali makanan ke sekolah oleh ibu, dan diantar-jemput sekolah oleh ayah. Bukan yang apa-apa serba diurus pembantu dan sopir, seperti aku.
Jiwaku yang tertekan membuatku mencari tameng, penyembuh, atau apalah istilahnya sesuka kau. Dan itu adalah kakakku sendiri. Ya, aku punya kakak. Jarak usia kami hanya satu tahun. Sejak kecil, kami selalu bersama. Kami sudah seperti dua orang yang saling membutuhkan satu sama lain. Yang tanpa salah satunya, yang lain takkan bisa hidup. Seperti itulah. Kami sangat dekat. Ia menyayangiku, dan aku lebih menyayanginya.
Namun, perlahan, rasa sayang itu berubah menjadi rasa yang salah.Seiring kami tumbuh, semakin kami sering bersama, aku semakin mengenali perasaan yang tumbuh dalam diriku. Perasaan yang kubiarkan mengalir begitu saja. Tidak kucegah sama sekali.
Perasaan cinta yang melebihi dari cinta seorang adik kepada kakaknya.
☆☆☆
Aku ingat hari itu. Desember, hari ke-13, enam tahun yang lalu. Hari itu, seperti biasa, ayah dan ibu pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Kali ini ke Palembang. Aku ditinggal dengan kakakku di rumah, bersama para pembantu dan sopir yang senantiasa menemani.
Sore itu hujan. Kakak tengah berkutat dengan tugas sekolahnya di kamar. Aku merasa bosan. Kuputuskan untuk membuat dua gelas susu vanilla hangat, kemudian membawanya ke kamar kakak. Kamarnya tidak dikunci. Aku langsung membukanya. Hal ini tidak lancang. Aku sudah terbiasa. Kulihat kakaku sedang mengerjakan tugasnya dengan serius. Aku menghampirinya.
"Tugasnya belum selesai, Bang?" tanyaku sambil menaruh dua gelas susu vanilla tadi di atas meja.
"Belum. Kamu ngapain ke sini?" Kakak merespons tanpa mengalihkan pandangan dari buku-bukunya.
Aku beranjak menuju tempat tidur kakak yang beralaskan seprai Ultraman, lalu menjatuhkan diri di atasnya. "Bosan aja, nggak ada teman."
Kakak menoleh sekilas. "'Kan ada Bi Runi?"
"Maunya sama Abang," ucapku sambil memandang plafon kamar.
Kakak hanya bergumam.
"Bang," panggilku, "kapan ya, Ayah sama Bunda pulang?"
"Kok tumben nanya gitu?"
Aku berguling ke samping kiri, menghadap jendela kamar. "Kangen. Pengin meluk mereka."
"Beberapa hari lagi juga pulang," katanya kasual. Sama sekali tidak gundah sepertiku.
Aku menarik napas lelah. "Bang," panggilku lagi, "sampai kapan sih, Ayah sama Bunda ninggalin kita di rumah? Kapan mereka sehari aja ada di rumah?"
"Kamu kenapa, sih? Kok galau amat." Kakak tertawa, benar-benar tidak mengerti perasaanku.
"Aku kayak gini, karena aku ngerasa ... semakin hari, kita semakin jauh dari Ayah dan Bunda," tuturku.
Kakak hanya menghela napas. "Kamu tidur aja gih," titahnya lembut.
Kemudian hening. Kakak masih sibuk dengan tugasnya, sementara aku sibuk memandangi hujan yang semakin deras.
Aku bangkit dari posisiku. Mendekat ke arah kakak, lalu aku mengalungkan kedua tanganku di lehernya. Aku tidak tahu apa yang kurasakan saat itu. Saat itu ... aku hanya butuh penyembuh. Itu saja.
"Hei, kamu kenapa?" Kakak bertanya lembut. Satu tangannya memegang tanganku yang dingin.
Aku menaruh kepalaku di bahunya. Seperti berbisik, aku berkata, "Aku sayang Kakak."
"Kakak juga sayang kamu," balasnya kasual. Andai dia tahu, bukan itu maksudku. "Kamu kenapa? Ada masalah?" tanyanya lagi. Kali ini, ia berbalik badan sehingga menghadapku.
Aku menatapnya lama. Lama sekali. Tanpa sadar, air mataku menetes. Aku menangis tanpa menjelaskan apa sebabnya. Biarlah. Biar dia tahu, ada luka sebesar apa yang menganga di rongga dada adiknya.
"Aku sayang Kakak...." lirihku. "Bukan ... aku ... aku cinta ... aku cinta sama Kakak...."
Kakak terkejut. Namun tidak berucap apa-apa.
Aku mendekat, lalu kucium bibirnya. Hal yang sudah sering kami lakukan sejak kecil. Ciuman itu sebagai tanda sayang bagi kami. Lama sekali bibirku berdiam di bibirnya. Lalu aku berbisik, "Aku cinta sama Kakak. Kakak jangan pernah tinggalin aku, ya. Jangan pernah."
Dan ia mengangguk, menyanggupinya.
*****
Udah terungkap kan? He he.
Senin, 07 Agustus 2017
13.26 WIB
KAMU SEDANG MEMBACA
Raga dan Rasa
Teen FictionRaga hanya menginginkan satu hal, Rasa. Rasa hanya menginginkan satu hal, Raga. Givi hanya tidak ingin satu hal, dikecewakan. Vigo hanya butuh satu hal, alasan. Dika hanya meminta satu hal, kesempatan. Seandainya mereka sanggup berhenti.... Tidak pe...