Chapter 4 - Kalung Bulan Sabit Biru (1)

37 4 7
                                    

Sudah dua tahun berlalu sejak hari menyakitkan itu. Rasanya seperti sudah lama sekali. Waktu dua tahun bukanlah waktu yang singkat, tapi rasanya itu sudah seperti sepuluh tahun lalu. Aku masih ingat hari itu, saat aku mengira semua akan baik-baik saja, dan Charles serta yang lain tidak akan dipukul lagi. Aku kira mereka semua akan dibebaskan. Karena, jujur saja, walau aku baru mengenal mereka beberapa jam, mereka seolah terasa sangat dekat denganku. Mungkin karena kami adalah gen buatan yang sama.

Dan sejak hari itu juga, aku mulai merasakan sakit di sekujur tubuhku karena aliran listrik yang terus mengaliri tubuhku jika aku membangkang dari mereka, atau dengan sengaja kabur. Dan ujung-ujungnya, aku selalu disakiti dengan helm listrik itu.

Soal pencucian otak… aku tidak yakin aku sebenarnya sudah dicuci otak atau tidak. Karena setiap kali aku memakai helm itu, aku merasa pikiranku kosong dan kemudian kembali lagi tepat setelah melakukan "misi". Semua juga mengalami hal itu. Kata Rifan, itu efek dari helm tersebut.

Ah… sejak hari itu juga, Rifan selalu menemaniku yang sering ketakutan dan tidak bisa tidur akibat rasa ngeri dan kesakitan yang kurasakan. Dia selalu menyemangatiku dan memelukku kala aku menangis kesakitan. Dan dia selalu mengirimkan pikiran-pikiran menyenangkan dengan hanya menyentuhkan dahi kami satu sama lain.

Dan aku merasa nyaman jika dia memelukku, dan menghiburku.

Selama dua tahun, kami sudah menerima ratusan misi. Mulai dari yang kecil, sampai yang terbesar.

Dan hari berikutnya kami mendapatkan misi secara serentak di satu tempat yang sama. Dan itu menjadi akhir penderitaan kami selama ini dan mengubahnya menjadi awal kehancuranku.

***

Aku terbangun dan mendapati diriku sedang dipeluk oleh Rifan. Aku sempat kaget dan hampir saja berteriak kalau saja aku tidak ingat sebelum aku tidur, aku sempat menangis karena lenganku disayat oleh Ardelia. Pemilik Laboratorium Terlarang. Dan juga sang Administrator. Dia mengatakan padaku kalau aku adalah salah satu asset istimewanya dan dia tidak suka jika aku membantahnya. Dan mengenai luka sayatan itu, yang sepanjang sepuluh senti dan hampir mengenai urat nadiku, aku tadi sempat melemparkan helm listrik yang akan dipakaikannya lagi padaku agar kami siap untuk misi berikutnya dan berusaha kabur. Dia lalu mencengkeram lenganku dan menyayatnya.

Rifan lalu mengobati luka itu dengan obat antiseptic dan membalutnya dengan perban dari baju yang sudah disobek menjadi kain panjang. Hanya Rifan dan aku yang ada di ruangan sementara yang lain belum kembali. Dan saat itulah aku menangis. Aku benar-benar tidak tahan dengan semua ini dan hampir saja bunuh diri kalau Kak Rifan tidak mencegahku.

"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya sambil menjauhkan pecahan kaca yang kupegang sangat dekat dengan leherku.

Aku menatapnya nanar dan dengan mata yang kabur karena airmata.

"Aku… aku…" aku terisak, "Aku tidak tahan… orang itu. Ardelia. Dia terus menyiksaku dan kalian semua. Aku tidak tahan. Aku… aku mau mati saja!"

Aku meraih lagi pecahan kaca itu dan mendekatkannya ke tanganku yang terluka. Dan ia sekali lagi menjauhkan benda itu dariku.

"Aria, hentikan!!"

"Kenapa kamu menjauhkan benda itu dariku!?" kataku marah. Dan frustasi, "Aku ingin mati, Rifan! Aku nggak mau seperti ini lagi!!"

Isak tangisku semakin keras dan membuat bahuku berguncang. Aku bahkan tidak mengindahkan panggilan Rifan lagi.

Tiba-tiba tanganku ditarik, dan tahu-tahu saja wajahku terbenam di dada Rifan yang bidang. Dia memelukku. Sangat erat.

"Rifan… Rifan, lepas…"

The Chronos ShappireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang