"Wah anjir dapet 74! Kurang satu lagi, ah guru tai, remed dah gue."
Teriakan Fahri membuat Angkasa yang sedang menulis menghentikan aktivitasnya. Barulah ia melirik kertas ulangan yang diadakan dua minggu lalu. Ini aneh, Angkasa tidak pernah menyukai pelajaran sejarah. Tetapi ia malah mendapat nilai tinggi.
Sosok tengilnya mulai keluar, "Aduh, jangan-jangan gue titisannya Albert Einstein ya? Habisnya gue ini pintar banget."
Fahri mendengus, lagi-lagi Angkasa bertingkah menyebalkan. Cowok itu mengusap rambut kebanggaannya lagi.
"Hah, masih 90 juga. Santai aja kali." sahutnya tidak senang.
"Tapi, gue ini beneran jenius lo."
"Puji terus dah diri lo sendiri. Gue botakin juga lo."
Angkasa menggelengkan kepalanya sambil terkekeh pelan. Hari ini moodnya kembali bagus.
"Gimana lo sama Alana? Udah saling bicara?" tanya Fahri sambil duduk di atas meja Angkasa.
Buru-buru Angkasa memukul kuat-kuat paha Fahri. Seenaknya menduduki buku gambar kesayangannya. Fahri terkekeh dan memperhatikan cowok itu yang meletakkan buku gambarnya di dalam laci. Padahal, hari ini tidak ada pelajaran seni budaya.
"Ya gitu. Masih lirik-lirik ketakutan dianya. Duduknya aja agak jauh dari gue. Tapi ya, gue cuek-cuek aja. Bodo amat lah."
Fahri melirik ketika anak-anak cewek sudah kembali dari kantin dengan membawa makanan. Kenapa gak makan dikantin aja coba?
Alana duduk di samping Angkasa dengan membawa dua bungkus roti dan susu. Fahri langsung turun dari bangkunya.
"Gue nyusul Aldo aja deh, lo ikut?"
"Lo aja, gue gak laper."
Fahri langsung keluar dari kelas. Dan kembali menutup pintu.
"Mau?" tawar Alana tiba-tiba sambil menyodorkan roti yang sudah digigitnya.
Angkasa mengangkat sebelah alisnya. "Lo nawarin roti bekas lo?" tanya Angkasa sinis.
"Bukan. Ehm,--"
"Emang lo mau yang bekas? Gak kan?" tanya Angkasa lagi.
Alana mendengus, lalu menyodorkan roti yang masih dibungkus pada Angkasa. "Kalau yang baru mau?"
Barulah seringaian anehnya itu muncul, tangannya mengambil roti yang ditawarkan Alana.
Alana menatap takjub Angkasa yang menghabiskan rotinya dalam 3 kali kunyahan. Bahkan roti Alana pun masih baru satu gigitan.
"Lo gila. Cepet banget makannya." komentarnya takjub.
"Gue minta." ia mengambil susu kotak yang ada di atas meja dan menusuknya dengan sedotan.
"Tapi itu punya gue."
"Kalau gak dikasih, gue minum susu punya lo, mau?!" ketus Angkasa yang langsung dihadiahi pukulan oleh Alana.
"Mulut lo itu harus di sekolahin! Dasar!"
***
"Dear Mang Tatang yang tampan, Fahri tau, sangat tau bahwa bakso buatan Mang Tatang tidak ada yang menandingi. Fahri juga tau, bahwa Mang Tatang membuat bakso memakai cinta yang tidak abisnya."
Fahri menarik napas dalam-dalam dan memegang bahu laki-laki penjual bakso berumur 40 tahunan itu. Sebenarnya, penjual bakso kantin itu sudah tau apa maksud dari kalimat-kalimat manis yang dikeluarkan oleh Fahri. Tetapi ia pura-pura tidak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Irresistible
Teen Fiction[Selesai] Pemarah, pemaksa, ketus, moody dan tidak mau ditolak sedikitpun merupakan ciri-ciri sifat Angkasa. Siapapun yang berurusan dengannya jangan harap di lepas begitu saja. Termasuk Alana, cewek polos yang meminta bantuan pada Angkasa dengan...