Pukul sebelas malam.
Aku bergegas merapikan tempat tidur, merebahkan tubuh tinggi besar yang lelah ini di atasnya. Malam sudah semakin larut, aku ingin terlelap, tapi mataku enggan mengusir terang.
Perlahan kuremas beberapa lembar uang dua puluh ribuan, hasil bekerja sepulang sekolah. Aku mengembuskan napas perlahan, lalu tersenyum. Lumayan, untuk beli LKS.
Kubiarkan hujan mengawal rinduku padamu yang indah di sana~
Suara Ali Sastra (pelantun nasyid) yang menyanyikan lagu Hujan pun terdengar sayup-sayup. Ada telepon jam segini?
"Iya?" Sudah kuduga, siapa yang menelepon malam-malam begini.
"Yey! Aku seneng banget, akhirnya awetan nyamuk aku udah jadi. Hmmm, namanya si Ucul. Eh, si Juki aja, deh. Nggak, nggak. Si Mamat, gimana?" Iza mengoceh panjang lebar.
Aku mengernyitkan dahi, "si Mamat kan udah dipake buat awetan embrio ayamnya kamu. Itu juga, si Juki kan nama kaktus kamu. Aduuh, Za. Kirain ada apaan nelpon malem-malem." Aku menepuk jidat, sebal.
Oryza Sativa, namanya. Ngomong-ngomong, itu nama latinnya padi, sih. Iza memang sejak dulu terobsesi dengan hal yang berbau Biologi. Sampai-sampai, dia punya laboratorium sendiri di rumahnya. Ya, meskipun hanya laboratorium sederhana, ala anak SMA, tapi peralatannya cukup canggih, menghabiskan dana beratus-ratus juta. Orang kaya mah bebas.
Iza terkekeh di seberang telepon, "hehehe maaf deh, ganggu ya? Aku cuma seneng aja. Dan aku mau kamu dan Nana jadi orang pertama yang tau kelahiran karya aku. Hahaha."
"Iya, iya. Bagus. Nanti aku liat deh, ya?" Nada bicaraku terkesan lelah sekali.
"Kamu baru pulang kerja ya, Ci? Capek ya?"
"Ah, nggak. Nggak capek kok. Capeknya ilang abis denger kamu berhasil bikin awetan nyamuk, hihi!" Aku berusaha seramah mungkin, "oh, udah nelpon Nana?"
Gadis itu mengembuskan napas berat, "nggak. Dia sibuk. Aku takut ganggu."
Di antara kita bertiga, Kirana memang yang paling sibuk. Orang penting di sekolah. Bayangkan saja, 24 jam waktunya dihabiskan untuk berorganisasi dan belajar. Untuk mengobrol santai dengan kami pun, merupakan kesempatan langka.
"Ci? Hoy?!" Iza membuyarkan lamunanku, "eh, iya, Za?"
"Ya udah ya, aku tutup dulu. Sampai ketemu besok ya." Tutupnya sambil cengengesan. Idih, dasar bocah.
"Hmm, iya. Assala--" Aku hampir lupa bahwa dia non-muslim.
Malam sudah semakin sunyi dan gelap. Suara auman anjing terdengar lantang menyapa. Sebentar.. anjing? Sejak kapan ada anjing?
Kusibak gorden kamar, terlihat Bapak membawa seekor anjing Rottweiler cokelat, gagah.
"Ini anjing siapa, Pak?" Tanyaku penasaran.
"Anjing Bapak lah, keren, ya?" Bapak mengusap-ngusap kepala si anjing.
Aku membatin. Buat apa beli anjing? Uang sekolah saja harus aku sendiri yang bayar. Untuk makan sehari-hari saja harus aku yang banting tulang. Astaga, ini kan mirip anjingnya Iza, harganya mahal sekali.
"Maaf, Pak. Bapak dapat uang sebanyak itu dari mana?" Diikuti rasa penasaran, aku mulai menginterogasi. Curiga menyelimuti akal sehatku.
Bapak mengalihkan pandangannya ke arahku, untuk beberapa detik kemudian kembali asik bersama anjingnya. Nggak menjawab sama sekali?
Kesal, aku kembali membuka suara, "buat apa sih, Pak?"
"Hiburan lah." Jawabnya singkat.
"Pak, udah 3 bulan, Uci nunggak uang bulanan sekolah. Bahkan uang hasil Uci kerja tiap hari pun nggak cukup. Pak, baju seragam Uci udah sobek, apa Bapak pernah perhatiin Uci? Pak, Uci belum beli LKS. Tapi kenapa Bapak lebih milih beli anjing daripada menuhin kebutuhan Uci?" Rasanya sesak. Sakit, tapi tak berdarah.
"Itu mah nanti aja. Jangan manja." Bapak menjawab tanpa menoleh sedikit pun.
"Uci boleh minta uang buat bayar uang sekolah, nggak?"
"Nggak ada lagi uangnya. Abis." Ucap Bapak dengan santainya, "lagian biasanya juga kamu bayar sendiri. Nggak usah minta lah, belajar mandiri."
Mandiri, katanya? 16 tahun umurku, selama itu pula aku mandiri. Menghidupi diriku sendiri, juga kedua orang tua yang bahkan tidak ada hubungan darah denganku. Ya, sejak bayi, aku dibuang oleh ibu kandungku. Kehadiranku tak pernah diinginkan.
Bapak suka main judi bersama rekan-rekan tukang ojeknya. Malah, kadang tidak pulang. Sekalinya pulang, mulutnya bau alkohol. Itu membuat Bapak jadi agresif, suka marah-marah.
Emak sering sakit-sakitan. Seharian berbaring di kamar. Menungguku mengurusnya. Anak-anak kandungnya banyak. 8 orang jumlahnya, sisa 3 di rumah. Sejak terjun ke dunia kerja dan menikah, mereka lupa begitu saja. Enggan mengurus Emak yang dulunya sangat memanjakan mereka.
Kadang aku berpikir, kenapa aku berbeda? Di saat remaja seusiaku harusnya bermain, berorganisasi, pergi nonton bersama, atau bercanda santai, aku malah banting tulang menghidupi diri sendiri dan keluarga. Lelah? Iya. Lelah sekali rasanya. Tapi Kirana selalu bilang, apa yang kita tanam hari ini, akan kita tuai hasilnya esok hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA SENJA MERAYAP LEBIH DALAM
Teen FictionKetika senja merayap lebih dalam. Rasa yang hinggap mengendap semakin parah. Dalam hati meledak-dedak bak meriam, jalur asa berliku tanpa arah. Ketika senja merayap lebih dalam. Matanya yang bersinar menjadi salah satu alasan. Mengapa aku terpukau...