PROLOG

28 3 0
                                    

Gerimis di luar semakin menjadi-jadi, buas menerpa jalanan yang dipenuhi ceruk-ceruk jiwa yang baru saja bangkit dari mimpi indahnya. Sejenak kualihkan pandangan ke arah jendela kelas. Lengang.

"Hey, Uci! Kamu sehat?" Seseorang membangunkanku.

"Aku?" Sahutku sambil menunjuk diriku sendiri, "jadi duta shampo lain? Hah? Hahahaha."

"Kurang obat ni anak." Dia meletakkan tasnya di sampingku. Ya, karna dia adalah teman sebangkuku.

"Na, ada tugas nggak, sih?" Aku memaksa kedua mataku agar bisa terbuka, "ngantuk amat dah."

"Banyak, Ci. Lagian kamu tidur mulu kerjaannya." Kirana mengeluarkan buku tulis dari tasnya.

"Yaelah, tugas doang. Gampang itu mah. Pelajaran budak teka." Ucapku sambil menjentikkan jari.

"Na, nyontek Inggris dong, Na! Astaga, gue belom!" Radit yang entah darimana datangnya, lari-lari bak pelari marathon, menuju bangku Kirana.

"Nyontek mulu lo, Dit! Mau jadi apa atuh, Nak!" Aku yang memang orang sunda asli, tiba-tiba berubah semenjak negara api menyerang. Eh, maksudnya semenjak Radit menyerang. Campur-campur keren juga kayaknya.

"Daripada lo, ngerjain aje kagak! Ngakak so hard gue." Radit menimpali. Aku hanya mengangkat sudut bibir, tidak peduli.

Semua warga kelas berkerumun di meja Kirana. Berharap hidayah dengan baik hati menyertai mereka. Kirana tersenyum, lalu mengeluarkan isi tasnya. Memberi makan singa lapar.

Kirana. Sejak awal, dia memang berbeda. Lihat matanya, terpancar ketulusan. Lihat senyumnya, ringan sekali, seolah dia tak pernah memiliki beban. Dia bersinar, dibutuhkan banyak orang. Sumber kebahagiaan teman-teman di kelas. Lantas, aku? Bebek hitam legam memang tidak pantas bersanding dengan angsa putih.

Aku terdiam, melamun. Dalam dunia yang penuh ketidak-adilan, orang-orang hidup dalam sekat dan jurang yang begitu kontras. Dan aku tersesat di batas senja, antara gelap dan terang.

KETIKA SENJA MERAYAP LEBIH DALAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang