2. Selamat Pagi (Minhyuk)

398 55 111
                                    

Seoul, 3 Juli 2017

Selamat pagi,

Aku tahu, mungkin ketika kau membaca surat ini, waktu bergulir lebih cepat dari perkiraanku. Mungkin sudah siang, atau bahkan malam. Tapi aku akan tetap menuliskan 'selamat pagi', karena kau menyukainya.

Betul kan? Kau menyukai pagi. Katamu, pagi adalah waktu dimana semua hal indah bermula. Sebuah awal yang baru. Waktu dimana semua kegelisahan, keragu-raguan, dan keputusasaan hilang, menguap pergi.

Aku selalu mengingat setiap kata yang kau kutip dari buku favoritmu, tentang pagi.

"Bagiku, waktu selalu pagi. Di antara potongan dua puluh empat jam sehari, bagiku pagi adalah waktu paling indah. Ketika janji-janji baru muncul seiring embun menggelayut di ujung dedaunan. Pagi, berarti satu hari yang melelahkan telah terlampaui lagi. Pagi, berarti satu malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati lagi."¹

Jujur saja, aku tidak tahu apakah kau masih menyukai pagi. Tapi aku masih mengingat jelas, ketika kau mengutip satu demi satu kata-kata itu, matamu yang berbinar dan senyummu yang merekah. Kau tahu, dibanding senyummu, sinar mentari saja kalah.

Sesungguhnya.. aku bahkan tidak tahu apakah surat ini akan sampai padamu. Akan kau baca atau tidak. Aku tidak tahu apakah kau akan membaca surat ini sambil berkomat-kamit seperti kebiasaanmu dulu. Aku tidak tahu apakah kau akan tersenyum atau menangis saat membacanya.

Aku tidak tahu.

Yang aku tahu, semua perasaan lelah dan sesak yang menghinggapiku setiap hari kian berat. Menyiksa. Sepanjang hidupku bersamamu, aku berusaha mempercayai setiap kata yang keluar dari bibirmu tentang pagi. Percaya bahwa pagi merupakan awal yang baik, sebuah permulaan baru.

Tapi bisa tolong kau jelaskan padaku, mengapa kau justru memilih waktu terbaik milikmu itu untuk meninggalkanku? Bisa tolong ceritakan padaku, mengapa pagi hari itu bukan senyum yang tercetak di wajahku saat memeluk tubuhmu, melainkan perasaan hancur dan terluka?

Tubuhmu yang dingin. Matamu yang tidak lagi bersinar. Senyummu yang menghilang.

'Minhyuk-ah,' begitu panggilmu dulu. Kau berjalan ke arahku dengan senyum lebar dan rambut panjangmu yang tertiup angin. Berhenti beberapa meter dariku, hanya untuk tersenyum semakin lebar, bersiap lari dan memelukku.

Kau tahu, detik-detik ketika kau berlari untuk memelukku, aku selalu menyadari satu hal. Satu hal yang bahkan, hingga saat terakhirmu aku masih selalu memikirkannya.

Tuhan, aku mencintai gadis ini. Aku mencintaimu. Sepenuh hatiku, dengan semua yang aku miliki.

Aku mencintai sosokmu yang hangat, penuh perhatian, dan selalu terlihat bahagia. Kau bahagia. Dan aku bahagia melihatmu yang seperti itu.

Jadi, tolong. Jika kau tidak mempunyai alasan kenapa tiba-tiba kau pergi meninggalkanku tanpa pamit, tolong.. kembalilah. Jangan pergi jika masih ada aku di dunia ini. Jangan pergi jika masih ada tanganku yang selalu siap memelukmu, selalu menggenggam jemarimu.

Kau bilang pagi adalah awal yang baru. Permulaan untuk hari baru yang indah.

Tapi ketika pagi itu kau pergi meninggalkanku, aku lelah mencoba berdamai dengan waktu terindah milikmu. Aku terus berharap, malam-malam yang menyesakkan dan penuh kerinduan itu memudar. Hanya itu. Aku hidup dari satu detik ke detik yang lain, mencoba bertahan.

Aku tahu, yang bisa aku lakukan memang cuma itu. Bertahan. Jika kau membaca ini, bisakah kau membantuku?

Bantu aku menahan sakit dan sesak ini. Bantu aku berdamai dengan pagi.

Tertanda,
aku yang selalu mencintaimu,


Lee Minhyuk.

*

¹Dikutip dari 'Sunset & Rosie' karya Tere Liye.

Tertanda, Aku. ✔Where stories live. Discover now