3.

33 2 0
                                    


WULAN

Hembusan angin sore menerpa wajahku, menaiki jembatan penyebrangan dan berpapasan dengan banyaknya orang adalah hal yang membosankan. Namun aku tetap setia ingin berjalan menyusuri taman indah itu, jam tanganku menunjukan pukul 16.00 yang artinya aku masih bisa duduk ditempat favoritku, dimana aku dan dia selalu bermain bersama.

Pada saat matahari masih bersinar seperti ini adalah yang sangat aku benci. Matahari, awan, langit biru, semuanya bukanlah keindahan. Karena mereka menutupi bintang untuk bersinar, menyamarkan bulan untuk terlihat, mereka sangatlah jahat.

Jalanan mulai terasa sepi saat aku tiba di taman kecil itu, tidak ada suara anak-anak yang bermain. Mungkin mereka semua telah kembali kerumah mereka masing-masing mengingat sebentar lagi akan senja.

Aku memasuki taman kecil itu, didepan taman adalah rumah teman sekolah dasarku, Tina namanya. Namun, tidak pernah sekalipun aku berjumpa dengannya saat datang kesini.

Aku menduduki ayunan kecil itu, lalu tersenyum. Membayangkan hal-hal indah yang pernah terjadi disini. Berharap akan kehadirannya untuk kembali membuatku tersenyum saat bersedih dan membuatku tertawa saat aku menangis.

Aku memejamkan mataku, hal yang mustahil. Aku benar-benar tau akan itu, sesuatu yang terjadi takkan pernah membawa sahabatku kembali.

Selalu seperti ini, datang ke tempat dimana kenangan indah terjadi akan membuatmu merasa tenang, tetapi disaat yang sama hal itu perlahan-lahan akan menyakitkan saat kau menyadari bahwa itu hanyalah sebuah kenangan.

Sebuah tepukan dipundak kananku membuat mataku kembali terbuka. Silau matahari yang terbenam menyamarkan wajah seseorang dihadapanku. Aku kenal bayangan itu, tidak. Aku sangat mengenalnya. Air mataku sudah ingin jatuh sebelum sinar manyilaukan itu pergi dan kembali membawaku kedalam sebuah kenyataan pahit. Bukan dia, itu hanyalah imajinasiku.

"Wulan ya?" Ucap gadis didepanku sambil menunjukku dengan jari telunjuk. Memang banyak perubahan dia semenjak kami sekolah dasar, namun aku tetap tau bahwa dia adalah Tina, temanku semasa sekolah dasar.

Aku megangguk.

Ia hanya tersenyum lalu mendudukkan diri pada ayunan kosong disampingku.

"Aku dengar kau dekat dengan Lintang dulunya. Aku tau apa yang sedang kau rasakan sekarang."

Tidak, kau tidak akan mengerti apa yang aku rasakan Tina.

Sorot mata Tina terlihat sayu, seakan ada suatu beban yang sedang dipikulnya saat ini.

"Maaf, jika dulu aku adalah seorang anak yang sombong dan tidak mementingkan perasaan orang lain." Tina menyangunkan diri. Memang benar apa yang dikatakannya, dulu ia adalah seorang yang berkepribadian buruk.

"Tapi sekarang aku sudah dewasa, dan aku turut ikut menyesal atas semua yang terjadi."

Tidak Tina, kau tidak tau apa yang terjadi. Jangan mengatakan hal aneh padaku, kumohon.

"Aku benar-benar mengetahui apa yang terjadi pada dirimu semenjak saat itu. Kau menjadi seorang yang tidak kami kenal, seseorang yang bahkan tidak akan menanggapi orang yang sedang berbicara denganmu."

Berhenti mengatakan sesuatu seolah kau melihat semuanya Tina !

Tina berhenti, lalu ia menghadap kearahku. Digenggamnya tanganku erat, hangat rasanya.

"Tetapi, bukan saatnya untuk menyalahkan dirimu atas apa yang telah terjadi pada masa lalu. Semua adalah takdir, semua adalah hal-hal yang harus kita lewati agar kita bisa menjadi lebih dewasa."

Air mataku mengalir, pandanganku mengabur dan apa yang sudah kutahan sejak tadi hanyalah sia-sia. Tina menarik badanku untuk menangis pada bahunya. Dia benar-benar sudah berubah, sekarang bukanlah Tina yang sangat aku takutkan dahulu. Ia adalah sosok gambaran seorang teman sejati.

Tina menepuk-nepukkan tangannya pelan pada bahuku.

"Maaf Wulan..maaf. Kumohon sekarang berhentilah menghukum dirimu atas apa yang telah terjadi. Semua itu bukan salahmu. Kematian Lintang bukanlah salahmu, itu hanyalah sebuah kecelakaan. Apakah kau berpikir ia akan senang melihatmu tidak memiliki teman karenanya? Jawabannya tidak, Lintang akan ikut sedih melihatmu menutup diri seperti itu." Ucapan itu bagaikan sebuah anak panah tajam yang langsung menghunus kedalam lubuk hatiku. Tina tau benar apa yang aku rasakan, apa yang aku alami.

"Hiks..hiks.." Isakanku mulai mereda.

"Lintang bukanlah satu-satunya teman yang kau miliki. Ada banyak orang diluar sana yang pastinya sangat senang jika berteman dengan orang sepertimu, termasuk aku. Kembalilah pada Wulan yang selalu ceria dahulu, kembalilah pada Wulan yang selalu cerewet dulu. Lalu, carilah teman yang akan mengisi hari-hari sekolahmu menjadi lebih indah." Perkataan terakhir Tina membungkamku dan air mata itu kembali jatuh tak terhenti.

Apakah sekarang saatnya Lintang? Mencari seorang teman selain dirimu.

***

Mentari pagi tertutupi oleh awan, hari ini mendung karena semalaman hujan turun walaunpun tidak deras. Pagi inipun gerimis masih setia menjatuhkan diri pada bumi, hal itu membuatku semakin malas untuk membangunkan diri dari tempat tidur setelah Sholat subuh tadi. Tetapi, mendengar panggilan penuh sayang dari ibu membuatku langsung membuka mata dan berlari menuju kamar mandi.

"Iya ! Wulan udah bangun Bu!" Teriakku dari dalam kamar.

Sekitar 25 menit aku sudah siap dengan dan telah setesai sarapan. Aku mencium punggung tangan wanita hebat yang membesarkanku dan seorang lelaki terhebat yang sangat aku banggakan dalam hidupku itu sebelum berpamitan untuk berangkat kesekolah.

Maafkan Wulan Ibu, Ayah. Wulan besar dengan menutup diri seperti ini, tapi sekarang Wulan akan mencoba berubah dan berteman seperti kata Tina, Lintang pasti akan mendukungku jika aku memiliki banyak teman.

Rintik-rintik hujan dan jalanan yang basah, aku mulai menyukainya. Untunglah aku menggunakan sweater untuk menjaga dari kedinginan. Wangi dedaunan dari pohon dan bunga yang basah sepanjang jalan menuju sekolah cukup menyegarkan.

Dari kejauhan, sekolahku mulai terlihat. Beberapa murid juga datang dengan menggunakan payung dan jaket yang sama sepertiku.

Aku menghentikan langkah kakiku, mulai dari sini aku akan mengucapkan selamat tinggal pada Wulan yang kemarin. Aku akan melihat hal didepan dan meninggalkan semua yang telah terjadi dibelakang. Memulai semua dari awal dan selalu tersenyum untuk masalah yang terjadi, menerima siapapun yang ingin menjadi teman dan menjadi seorang teman yang baik bagi semua orang.

Aku yakin bisa melakukan semua itu, karena...

"Pagi Wulan, bukankah hari ini sangat dingin?" Ucap suara yang beberapa hari ini selalu mengusikku. Awan berjalan disampingku dengan jas hujan transparan miliknya.

"Awan dan Wulan ya?" Lagi, sebuah suara lembut seorang gadis terdengar dari arah belakang membuatku dan Awan menoleh. Disana ada Jingga yang berlari kecil menuju kearah kami, sepertinya ia baru saja turun dari sebuah angkutan umum.

"Maaf, aku tidak membawa payung. Bisakah aku berjalan denganmu sampai kekelas?" Tanyanya ketika sampai dan mencoba berteduh pada payungku.

Sebuah rasa bsenang yang tidak bisa kujelaskan meliputi hatiku. Dengan perlahan bibirku melengkungkan senyuman.

"Tentu saja." Ucapku kemudian, Awan dan Jingga sedikit terkejut.

'Memiliki hubungan dengan seseorang akan menciptakan pengkhianatan. Namun, semua itu adalah yang yang harus ditempuh untuk membuat kita menjadi lebih dewasa. Sekarang aku mengerti Lintang, bukan hanya satu bintang diatas langit yang menemani bulan agar tidak kesepian, disana ada banyak bintang.

Terimakasih Lintang, aku tidak akan pernah melupakanmu.



-TAMAT-

Bintang Untuk BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang