1. Ini Hanyalah Kisah Selusin Garpu

95 30 33
                                    

Namaku Nur, sederhana tidak ada embel-embel nama belakang keluarga.

Aku tidak butuh alarm untuk bangun setiap pagi, karena kejam nya sinar matahari bisa seenaknya masuk ke rumah ku tanpa permisi. Sela-sela dinding anyaman bambu buatan Bapakku memang tidak terlalu rapat, namun cukup kokoh.
Rumahku tidak sepenuhnya anyaman, ada juga dinding permanen. Hanya saja di kamar dan bagian dapurnya terpaksa diisi dengan anyaman tadi.

"Tempe kering ini lho!" Ibuku menawarkan menu sarapan pagi ini.

Jangan bayangkan keluargaku akan makan bersama dalam satu meja. Karena kami tidak akan melakukan hal itu, meja saja kita tidak punya.

Krompyang..

"Masih pagi tolong jangan membuat keributan!" Ibu ku berteriak mendekati arah suara sambil menyincing daster bathik nya menjadi setinggi lutut.

Suara itu berasal dari dapur. Aku menyebutnya dapur karena disana terdapat kompor gas milik ibuku dan beberapa tatakan piring.

Aku melihat adiku memecahkan piring lagi, ini bukan pertama kalinya di minggu ini.

Ibuku terus mengomel, memaksa kedua adiku untuk membersihkan pecahan piring di lantai berlapis semen itu.

Aku melewati mereka, kemudian mengambil piring tentunya bersama sendok alumunium.

Aku lebih memilih keluar, duduk di kursi kayu depan rumah lalu menelan sarapan ku disana, sambil sesekali menggeleng kenapa pagi seperti ini terus terulang setiap harinya.

"Ini saatnya orang-orang bekerja! Jangan mengganggu. Minimal diam!"

Samar-samar suara ibuku masih dapat ditangkap kedua daun telingaku. Deki--adiku, memang sering kesusahan untuk menggerakan kaki ataupun tangannya. Kami tidak tau apa yang terjadi padanya. Intinya kami tetap menyayanginya.

Sekali lagi aku sarapan nasi putih juga ocehan ibu sebagai lauknya.

Ibuku selalu marah setiap hari, membuat uban-uban kecil dirambutnya terus menyebar menutupi sebagian besar mahkota hitam nya.

Kalian tau apa masalahnya?

Garpu.

Ya benda kecil untuk makan itu membuat keluargaku selalu muring-muring.

Adiku selalu bertengkar, hingga berakhir salah satunya menangis demi makan menggunakan garpu.
------------
Knalpot motor bebek lawas itu memecah lamunanku, kepalaku menggeleng ketika pasutri itu turun dari jok motornya yang masih licin.

Mbak Dinda membawakan gas melon 3kg berwarna hijau terang, terang nya melebihi lampu dirumah ku ketika senja tiba.

Itulah kakak ku, remaja bobrok, yang kawin dengan kuli bangunan teman SD nya.

"Ini Bu, mau nitip kacang berapa kilo? Dinda mau kepasar," ucap nya dengan ramah.

Pandangan ku beralih pada Om Andri, yang tidak lain adalah suami kakak ku. Ia menimang Rendra, balita yang sering memanggilku tante itu kini sudah beranjak makin tinggi.

Kutinggalkan piring ku diluar, dengan sisa nasi yang sebentar lagi pasti dirubungi ayam, aku masuk kedalam kulihat Deki, sedang menunggu Kiko demi jatah mandinya di ujung sumur.

"Kenapa lagi tadi?" Aku bertanya sambil meneguk air ledeng yang ibu masukan kedalam teko berwarna merah dengan bercak hitam menandakan usianya.

"Mas Kiko, sudah berjanji tadi malam sebelum kami tidur. Besok giliran ku memakai garpu. Tapi dia justru mengajak balapan--"

"Siapa yang tercepat ia yang memakai garpu." Aku memotong, alasan lama sudah bisa kutebak.

Kaki ku ingin meninggalkan Deki dan membiarkan ia berdiri meratapi sarapannya tadi yang tidak ditemani dengan garpu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Scream The Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang