Epilog

67 12 2
                                    

Akhi:

Bersiaplah untuk besok, Man. Kamu akan syahid di jalanNya

Rahman:

Bisa saya mengundurkan diri, Akh? Saya nggak bisa meninggalkan anak dan istri saya. Saya cinta mereka lebih dari apa pun.

Akhi:

Lalu, bagaimana dengan syurga yang selama ini kamu impikan? Bukankah ini keinginanmu sejak dulu?

Rahman:

Haruskah begini Akh? Saya tidak siap kehilangan.

Akhi:

Ya, harus. Kamu sudah berjanji.

Akhi:

Apa kita di ada di jalan yang benar? Apa menyakiti orang lain terbilang jihad? Bagaimana kalu faham kita selama ini salah? Bukankah agama kita diutus untuk kedamaian, Akh? Kenapa harus membunuh hidup yang harus berlanjut?

Akhi:

Jangan banyak bertanya Rahman! Jika kamu tidak mau, aku akan datang ke sana. Mungkin istri dan anakmu juga akan kehilangan hidupnya.

****

Perempuan bermanik coklat mengusap setitik air yang jatuh di pipinya. Hingga saat ini pun sulit dipercaya jika satu-satunya pria yang paling ia cinta telah pergi. Nisan di hadapannya ia tatap lekat-lekat. “Rahman, itu namamu kan, Bi? Bukankah artinya yang pengasih? Lalu kenapa kamu harus seperti ini?” tanyanya pilu.
  
Seorang anak kecil berjalan dan menarik-narik ujung kerudung Diana. “Mi, teroris itu apa sih? Kok ada yang bilang kalo abi itu teroris?”
   
Diana tersenyum miris. Lalu mengusap lembut kepala sang anak. “Abi orang yang baik, Nak. Ia hanya salah jalan. Sini, duduk. Kita doakan abi bersama.”

Sekian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gugur. [On Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang