Dua

81 14 2
                                    

Entah dari mana keberuntungannya datang. Setelah mereka kuliah ditempat yang berbeda. Malam itu, Rahman datang bersama keluarganya.

"Nak, cepat pakai kerudung! Ada tamu di depan." Seorang wanita paruh baya menepuk pundak Diana.
Perempuan bermata sipit mengerjapkan mata beberapa kali karena terkejut. "Ada apa sih, Ma? Ngagetin aja. Kirain ada kebakaran, heboh amat!" Ia berdecak sebal.

"Pokoknya kamu pakai kerudung. Ada Rahman di bawah." Sang mamah memerintah lagi.

Diana masih terdiam tak percaya. Setelah sekian lama mereka tak bertemu, lalu kenapa sekarang Rahman menemuinya?

"Nak ...?"

Suara sang mama menghamburkan kembali lamunan Diana. "Rahman, Ma? Mau apa ke sini?"

Namun alih-alih menjawab sang mama malah tersenyum. "Kamu bakal tau jawabannya nanti, Nak." Lalu ia berjalan menjauh. Tanpa perduli jika kini sang anak ternganga di tempatnya.

Setelah Ia selesai menggunakan kerudung pasmina berwarna merah muda, perempuan bermanik coklat menuruni anak tangga menuju ruang tamu. Entah, tak usah tanyakan lagi bagaimana perasaannya sekarang. Bahagia, setelah sekian lama mereka tak bertemu. Terkejut karena saat ini pria yang dulu ia harapkan datang dan ingin menemuinya? Bahkan dulu Diana sering sekali berpura-pura rajin melaksanakan dhuha di Mushala sekolah, hanya untuk melihat Rahman.

Namun, pertanyaan besarnya masih ada hingga saat ini. Kenapa kala itu ia bersikap sangat dingin? Dan ada apa dengan hari ini? Apa dia akan meminta maaf? Tapi ... Untuk apa? Bukankah banyak teman masa kecilnya yang melupakan Diana begitu saja? Kenapa pula hanya Rahman yang ia fikirkan?

"Nak, lama banget sih jalannya. Ayo cepet!" Seorang pria paruh baya menyusul perempuan itu dan mengamit lengannya, ia tersenyum. "Rahman mau bicara penting sama kamu," bisiknya.

Saat itu juga, sebuah getaran hangat menjalari tubuhnya. Tanpa sang ayah tahu, Diana telah mengharapkan pria rupawan itu ... Entah sebelumnya dalam hal apa. Ia pun tak mengerti, sulit diartikan oleh seorang Diana sebelumnya. Karena selama ini, tak pernah ia merasakan jatuh hati ....

Saat ini, sang ayah membawanya duduk berhadapan dengan Rahman. Bukan dalam jarak dekat, masih terhalang meja tamu yang menjadi pemisah mereka. Tapi Diana merasa ruangan ini terlalu sempit, ia bahkan sulit bernapas. Sang ayah, mama, dan kedua orang tua Rahman yang kini duduk bersamaan pun tak ia baca kehadirannya.

Yang Diana lihat sekarang, hanya Rahman; sedangkan pria rupawan itu masih duduk tenang di hadapan. Sesekali menatap mata Diana. Bibirnya bergetar.

"Ana, maukah kamu menjadi teman hidupku, mendampingiku di JalanNya?"

Sebuah suara yang hampir tak bisa ia percaya keluar dari mulut pria bernama Rahman. Dan kini Diana kehilangan kata, tak bisa ia tahan lagi air yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya.

****

Sejak saat itu, Diana merasa dirinya adalah perempuan paling beruntung yang diciptakan Allah di muka bumi ini. Memang terdengar sangat berlebihan. Tapi itu yang ia rasakan, siapa yang tak bahagia dipinang seseorang seperti Rahman?
Pria itu kini sudah terbilang mapan. Shalih? Tak usah ditanya lagi. Jika dulu ia bermimpi ingin dekat kembali dengan masa kecilnya, maka bisa dikatakan jika mimpinya telah terwujud.

Karena sekarang ... Rahman ada, di sisinya.

"Mi, kenapa ngelamun?" Suara lembut namun berat milik suaminya membawa Diana kembali tersadar.

Perempuan bermanik coklat tersenyum. Lalu menggeleng lemah. "Nggak papa, Abi mau makan? Ummi udah masak ayam balado kesukaan Abi."

Gugur. [On Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang