Tiga | Rindu Sepihak

22.9K 1K 24
                                    

Ia memaki dirinya sendiri. Hatinya berkhianat lagi dari ego yang ia pasang tinggi-tinggi. Akhirnya, membawa langkah kakinya di depan ruangan berpintu coklat dengan ukiran yang sederhana, unik dan indah. Tangannya tanpa ragu mendobrak. Padahal hatinya memberontak, ingin sekali menendang pintu coklat itu kalau saja, ia tak ingat ini bukan kantor miliknya atau keluarganya.

"Masuk!"

Tanpa menoleh pun, lelaki itu sudah tahu siapa yang datang. Siapa lagi? Kalau bukan gadis gila yang rela meninggalkan pulau kecil di Sumatera lalu terbang diam-diam kembali ke Jakarta. Meninggalkan tugasnya sebagai dokter muda, hanya untuk menghampiri lelaki yang ia gelari sebagai lelaki sialan dan brengsek ini. Lelaki yang masih duduk di depan laptopnya walau jam kerja sudah lewat berjam-jam yang lalu. Hal yang selalu membuat benak Aisha ingin memaki, kenapa ia harus berurusan dengan lelaki gila kerja seperti ini?

"Ada apa?" Wira bertanya dingin. Tak melihatnya sama sekali.

Sementara matanya sudah memerah. Menahan kesal yang mengendap di dasar hati. "Kapan kamu serius?" ia bertanya datar. Matanya menatap Wira yang masih betah duduk di bangkunya. Padahal ia yakin, lelaki itu banyak menghabiskan waktu di mobil dan ruang meeting. Lelaki itu tak melihatnya sama sekali. Ia malah melirik jam tangan mahalnya yang sudah menunjukan pukul setengah tujuh malam. Lalu kembali menatap laptopnya.

"Aku lelah menghadapi sikap kekanakanmu. Bermain wanita? Okh! Kamu pikir, aku ini wanita yang selalu lapang menerimamu?"

Ia berkacak pinggang di depannya. Ada emosi yang ia pendam. Emosi yang selalu ia munculkan setiap kali Wira mulai bertingkah seperti ini. Hampir setahun ini, hubungan mereka ricuh hanya gara-gara orang ketiga, keempat, kelima dan seterusnya. Sinetron sekali. Wira mendongak. Ia malah menyung-ging senyum tipis. Dan....Aisha mendadak lupa kalimat-kalimat yang sudah merubung otaknya secara penuh. Sial!

"Ku kira hubungan kita baik-baik saja."

Kalimat itu sukses membuat Aisha ingin menarik dasinya ke atas atau mencekiknya atau langsung membunuhnya sekalian. Tapi sayangnya, ia tak kan pernah sanggup jika harus kehilangan pusat kehidupannya saat ini. Jika pun bisa, akan ia lakukan setelah hatinya pindah ke raga yang lain dan matanya sudah terbiasa tak menatap lelaki ini lagi.

"Baik-baik saja setelah foto kamu dan—"

"Aku sedang sibuk, Sha. Sudahlah. Itu hanya foto." Potongnya lalu mengalihkan tatapannya ke laptop. Mengabaikan Aisha yang menahan sesak di dadanya. Hanya? Ia mengumpat. Baginya itu sepele tapi, bagi Aisha? Sebebal-bebalnya ia, nyatanya ia terlalu sensitif setiap kali menghadapi lelaki ini. Ini lah yang namanya cinta telah menelan segala akal sehat yang ia punya. Cinta yang telah membutakan penglihatan hatinya. Cinta yang telah menenggelamkan segala kewarasannya. Cinta sialan! makinya dalam hati.

"Oke." Ia menyeringai puas dengan tangan yang berhasil menjepit tangan Wira diantara layar dan keyboard laptopnya. Lelaki itu ternganga sambil menahan ringisan karena kedua tangannya terjepit. Padahal Aisha sengaja melakukan itu. Yah, minimal lelaki sialan dan brengsek ini bisa merasakan sakit hatinya walaupun Cuma sedikit. "Asal kamu tak menyesal setelahnya," ia berniat pergi tapi tangannya dicekal kasar oleh Wira. Berkali-kali ia mencoba melepas, teriak pun percuma, nyatanya tetap tak berhasil.

"Apa maumu?"

Lelaki itu menawar. Lelah menghadapi gadis keras kepala namun sensitif ini. Ia heran, kenapa segala sesuatu yang menyangkutnya, Aisha selalu menggila? Apa karena cinta? Okh. Pemikiran itu membuat senyumnya nyaris muncul ke permukaan. Aisha tak boleh tahu betapa ia bahagia.

"Pulang dan tak kan kembali," Aisha masih dengan kecamannya yang dingin dan tak tersentuh. Tangannya berhasil lepas namun terantuk ujung meja. Ia mendesis dan matanya kembali menatap Wira dengan kesal. Lelaki itu sengaja menghempas tangannya.

DestinyWhere stories live. Discover now