"Bisanya membuat masalah saja. Aisha.... Aisha...kapan kamu akan dewasa, hah?!" Fadlan berdecak sambil sesekali mengomel walau matanya tak lepas dari jalanan di depan sana. Gadis itu malah mengembang senyum tipis. Tangannya tak lepas memeluk lengan kakaknya. Atas pertolongan lelaki ini, ia berhasil bebas dari kasus mess yang terbakar karena ulahnya. Gara-gara foto lelaki sialan dan brengsek itu, kepergiannya ke Jakarta malah dikira melarikan diri. Kepolisian daerah sini mencarinya dan ia ditangkap saat baru saja turun dari pesawat. Dan....abangnya ini rela meninggalkan proyek rumah sakit yang sedang dibangun dengan jarak enam jam perjalanan dari tempatnya koass, hanya untuk mengeluarkannya dari tuduhan jelas dengan alasan absurd. Hanya gara-gara kertas bergambar yang sialan itu, ia harus berdebat sepanjang malam dengan polisi yang menginterogasinya. Untungnya, tuntutan atasnya dicabut dengan syarat ia harus mengganti rugi. Lebih tepatnya, Fadlan lah yang mengganti rugi.
Ia nyengir saat Fifa menabraknya. Memeluknya dengan erat. Gadis itu ketakutan saat mendengar hasil penyelidikan kasus pembakaran itu dilakukan dengan sengaja. Dan yang membuatnya terkejut tentu saja mengenai tersangka yang ditetapkan polisi. Gadis gila! Benar-benar gila!
"Dengar! Setelah ini gue gak mau satu tempat praktik dengan lo lagi!" ia mengancam. Ancaman yang malah membuat Aisha terbahak. Matanya memincing, mulai mencari kejujuran dimata Fifa yang berkaca-kaca. Baru akan buka suara, kepalanya diketuk Fadlan. Ia mendelik tak suka. Tapi lelaki itu memberi kode untuk mengikuti langkahnya. Ia menghela nafas.
Meminta maaf adalah satu-satunya jalan. Fadlan lah yang dijadikan Aisha juru bicara untuk segala pertanggungjawaban atas masalah yang ia buat. Fadlan terpaksa mengeluarkan dana yang cukup besar. Pertama, untuk biaya sewa kontrak selama sebulan untuk para pekerja yang tinggal di mess sampai pembangunan mess selesai. Kedua, ya rencana pembangunan mess yang setengahnya habis terbakar. Tapi dibalik kelancaran Fadlan melobi perencanaan pembangunan itu, Aisha senewen. Masalahnya, dokter seniornya yang perawan tua itu mendadak ramah dan mau membantunya melobi pemerintah daerah disini. Apalagi maksudnya kalau bukan untuk mencari perhatian kakaknya? Oh. Ia mana mau punya kakak ipar mirip nenek sihir seperti itu. Ia menggamit Fadlan dengan erat saat keluar dari ruangan itu. Meninggal-kan para pejabat pemerintah daerah termasuk dokter Sarah yang sedari tadi menatap Fadlan tanpa kedip. Setelah ini ia harus hati-hati. Takut kakaknya yang tampan ini diguna-guna oleh perawan tua yang satu itu. "Mumpung Kak Fadlan belum nikah ini, gak apa-apalah ngeluarin dana dikit," nyinyirnya yang dibalas getukan di kepalanya. Ia mendesis.
"Gaji kamu lima tahun setelah dapat gelar dokter nanti belum tentu cukup buat ngelunasin!"
Ia terkekeh lalu ia peluk hangat abangnya yang masih menatap senewen. "Fifa bilang, kalo bantuin orang itu harus ikhlas, kak." Ia berlagak memberi nasihat dan hanya dibalas dengusan sarkatis.
"Kakak pulang dulu. Sekali lagi buat masalah....," matanya memincing sementara Aisha nyaris terkikik. "Awas aja!" ancam lelaki itu kemudian pamit mengucap salam.
"Makanya buruan nikah!" ia berteriak sambil terkekeh-kekeh sementara Fadlan sudah masuk ke dalam mobil. Ia melambaikan tangan lalu tersenyum tipis. Malam ini, ia akan tinggal di rumah kontrakan yang disewa kakaknya, berdua dengan Fifa.
Kakinya mendadak kaku ketika hendak masuk. Marshall muncul entah dari mana. Tiba-tiba sudah berjalan di depannya. "Kenapa mencandaiku?" lelaki itu bertanya. Ia berhenti tepat di samping Aisha tanpa melihat gadis itu sedikit pun. "Apa motifmu sebenarnya?"
Ia malah melengkung senyum dengan santai. "Aku heran pada bulan yang selalu dipasangkan dengan bintang ketika malam. Sementara matahari sendirian ketika siang." Gadis itu menunduk, mengucap salam lalu pergi meninggalkan Marshall dengan berjuta tanya dibenaknya.
JJJ
Rasanya kuping Aisha ingin meledak sekarang. Kedatangannya ke puskesmas pagi ini disambut ramah oleh dokter Sarah. Wanita itu telah lama menunggunya. Setelah berbasa basi menanyakan kasus dan laporan, ia langsung to the point mengatakan maksud 'ramahnya'. Ujung-ujungnya modus. Nyatanya, si perawan tua itu hanya ingin bertanya soal kakaknya yang datang semalam. Ia berdecih.
YOU ARE READING
Destiny
EspiritualTerkadang jalan takdir mempermainkanku. --Aisha Fayola Adhiyaksa-- Masa lalu menjadi batu sandunganku ketika takdir mulai berpihak padaku. --Marshallah Ahmad-- Ku kira takdir telah berpaling, namun ternyata ia tak berkhianat. --Adnan Wirasatya--