Aku tahu persis hubungan kekeluargaan kami, namun yang jelas almarhum ayahku pernah bercerita bahwa leluhur Siti Saleha alias Uni Gadang masih berhubungan dengan kami.
Bahasa pergaulanku di rumah adalah bahasa Jawa, sehingga iseng aku memanggilnya dengan "Uni Gedhang Gembeng" (pisang cengeng).
Ia pun marah dan berusaha mengoreksi ucapanku,
"Gadang...bukan gedhang! " Lantas dengan ucapan huruf r ala Parisienne alias agak cadel, ia membalasku dengan ucapan yang tak kuphanami dalam bahasa Padang.Waktu aku ikut suami yang mendapat tugas Irian, Uni Gadang datang menjenguk kami. Rupanya ia ingin menjajaki bisnis restoran Padang di Sorong. Spontan aku pun bilang kalau aku kangen pada rendang buatannya. Ia yang suka menyenangkan hati orang, ikut aku ke pasar tradisional untuk berbelanja.
Tapi aku lupa membekalinya dengan info 'etika'jual beli di pasar setempat. Pada awal tahun 70-an itu, di Irian masih beredar uang kertas warna merah yang mereka sebut uang merah, peninggaln zaman pendudukan Belanda dulu.
Para ibu yang rata-rata mengunyah sirih dan berambut keriting selalu memberi harga pukul rata. Mungkin mereka tak mau ambil pusing menimbang dan membuang walru untuk berhitung. Jadi kelapa ukuran sebesar apapun maupun kecil harganya sama. Cabai merah, yang juga dijual lengkap dengan dedaunannya, bahkan dengan pohonnya, diberi harga pukul rata, yaitu satu rupiah uang merah.
Uni Gadang yang pintar berhitung tak mau menerima hal itu. Ia tidak setuju dengan harga kelapa yang menurutnya ngawur.
Terjadilah tarik menarik harga sebutir kelapa yang masih berkulit tebal.