S T O R Y [1]: Perempuan

3K 94 4
                                    

Cerita ini mungkin lebih layak disebut cerita mini. Pernah aku publish di sebuah work dalam rangka memeriahkan hari Kartini.

♥♥♥

"Perempuan seperti apa yang kamu cari?"

Pertanyaan yang diajukan Riza dengan semena-mena saat aku sedang dibuat pusing oleh sederetan angka di layar laptop membuatku mendelik kesal padanya. Aku bisa menebak ke mana arah pembicaraan sepupuku itu. Apalagi kalau bukan mencarikan calon istri untukku?

"Yang mengerti tentang laporan keuangan. Ya Tuhan! Aku benar-benar butuh analis yang cakap." Dengan gerak cepat, kubereskan berkas-berkas yang berserakan di seluruh permukaan meja kerja. Sudah saatnya mengganjal perut setelah empat jam tenggelam dalam keruwetan ini.

Kudengar helaan napas. "Kamu butuh partner hidup, Raka. Bukan cuma partner kerja."

"Buatkan aku telur dadar, please. Aku lapar sekali."

Detik berikutnya aku merasakan sesuatu yang empuk dan lembut menghantam wajahku. Itulah yang selalu aku dapatkan dari sepupu manisku ketika aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Hantaman bantal. Tapi bukan Riza namanya jika dia tidak mampu mengaitkan topik alihanku ke topik utama yang sedang diusungnya.

"Makanya nikah. Makan telur dadar terus apa enaknya?"

Nah, lihat, kan?

Aku tak membalas kata-katanya yang menurutku terlalu naif. Seolah segala masalah dalam hidup ini akan beres dengan menikah. Hah!

Pengalaman hidupku serta orang-orang di sekitarku sudah lebih dari cukup menjadi alasan untukku meninjau ulang, apakah pernikahan akan tetap masuk dalam daftar hal yang akan kulakukan. Akan kujelaskan mengapa begitu.

Karena sebenarnya, alasan mendasar dari hal tersebut adalah makhluk Tuhan bernama perempuan. Mengapa perempuan? Karena sampai kapan pun aku tidak akan menikahi laki-laki. Oke, aku tahu. Aku mulai out of topic.

Jadi, alasan pertama adalah karena ibuku. Ya, ibu yang mengandung dan melahirkanku.

Jangan mengira aku membenci ibuku sendiri. Aku sangat menyayangi dan menghormati beliau. Pengacara kondang yang pernah dijuluki Kartini of the Year oleh sebuah majalah khusus perempuan ternama di negeri ini. Aku bangga padanya. Tapi tidak lantas membuatku berpikir, aku ingin sosok istri sehebat ibuku, seperti dugaan hampir semua orang yang mengenalku.

Aku justru ngeri membayangkan harus menghabiskan sisa hidupku bersama perempuan seperti beliau. Perempuan yang kelewat mandiri dan dalam pikirannya hanya ada pekerjaan serta idealisme yang dibelanya mati-matian.

"Perempuan mandiri itu calon istri ideal, Ka. Mereka selalu tahu apa yang mereka mau. Itu akan menghemat energi kita sebagai laki-laki," celoteh Ronald, sepupuku yang lain beberapa bulan yang lalu.

Aku hanya bisa terkekeh saat itu. Sebagian kaumku--termasuk aku, dulunya--memang menyukai tipe perempuan seperti itu. Kuberi bocoran mengapa bisa begitu. Karena kami tak ingin dibuat repot. Ha ha!

Aku resmi memisahkan diri dari barisan laki-laki pengagum perempuan kelewat mandiri setelah perceraian ayah dan ibuku. Dan semakin dikukuhkan setelah mantan pacarku--seorang perempuan mandiri--melakukan tindakan yang menampar egoku sebagai laki-laki. Dan ini menjadi alasan keduaku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 13, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan Cerpen & PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang