Part 3

5 0 0
                                    

“Nafis..? kau tidur?”

Kubuka sebelah mata. Ugh, kepalaku berat. Samar kulihat budhe Is masuk kamar.

“Nafis, budhe mau bicara sebentar..”

Ahh.. budhe, badanku remuk, kepalaku pusing. Bisakah nanti saja? Atau besok?

Mataku kembali terpejam. Wajah budhe makin kabur.

“Nafis, dia ada di Samarinda. Di SMU I..”

“Hmm...”

“Nafis, kau dengar?!” tangannya menggoncang bahuku

Kupaksakan membuka mata lebar-lebar. Susah payah aku bangun, duduk bersila. Kepalaku makin berat.

Semua ini gara-gara bandit-bandit kecil itu. Saat itu aku sedang asyik menyemprotkan cat pilok ke jalinan kertas koran yang sudah berubah bentuk menjadi kotak tisu di atas batu rahasia. Anak-anak sedang bermain polisi-pencuri yang berkejaran hebat. Tanpa sengaja Lana menabrakku sampai jatuh terjungkal. Kepalaku membentur akar ulin hingga benjol sebiji salak terbentuk. Dan sekarang aku hanya ingin tidur, mencoba melupakan kotak  tisu yang dengan susah payah kubuat tertinggal di tengah hutan, dengan mendung hitam yang berarak mengancam.

“Nafis, kau dengar?! Dia di SMU I Samarinda..!!”

Langsung perhatianku tersedot, “Appaa..??!!” kantukku lari terbirit-birit

“Iya Nafis, budhe tahu dari Lisa..” matanya berbinar

“Lisa? Kok...” tak urung aku penasaran, apa hubungannya?

“Lisa, anak pak Munib, dekat pasar itu. Dia dulu sekolah di SMU I, tadi mau menjual buku ke Tenggarong. Nah ini...” budhe mengangsurkan buku bersampul hijau kusam padaku

Buku Memori..

Kubuka halaman pertama, logo sekolah. Kertas itu sudah dimakan ngengat. Prothol disana-sini dan berbau apek. Halaman dua, struktur. Tiga, daftar nama guru dan pegawai. Hatiku berdesir.

Kubaca satu persatu deretn nama yang susah diucapkan. Tiba di nomer sembilan mendadak lidahku kelu, sebaris nama yang kukenal tertera. Dadaku seperti disesaki batu granit. Aku menoleh, budhe Is tersenyum mengangguk.

Kututup kembali buku itu, kuteliti sampulnya. Hmm, ada yang terlewat. Kubaca deret angka paling bawah, 1990-1991. Seketika granit itu luruh menjadi debu.

“Kenapa nduk..?” budhe melihat perubahhan wajahku

“Ini 18 tahun lalu budhe...”

Senyum bijaknya mengembang, “Itulah kenapa kau ada disini, Nafis..”

****

“Gara-gara kau aku jadi batalin janji dengan kak Yani!” Ima menggerutu sepanjang jalan

Aku tertawa geli saat dia mencari-cari alasan di depan budhe tak bisa mengantarku, namun gagal. Akhirnya dengan bersungut-sungut dia menelpon kakak kelasnya itu keras-keras di ruang tamu, mengatakan harus menghibur saudaranya yang menderita gangguan mental dengan menyusuri tepian Mahakam.

“Memang buat apa sih kau kesana?”

Aku diam. Bongkahan granit itu terbentuk kembali.

Sebagian hatiku ingin kembali saja, melupakan perjalanan konyol ini. Tapi jutaan rasa itu membuat sisi lainnya seakan mau meledak. Dan kakiku membeku, tak mau kompromi.

Jalan di depanku terlihat makin menjauh. Saat berada dalam ketinting untuk menyeberangi Mahakam menuju Tenggarong, biasanya hatiku selalu cerria. Melihat kecipak buih yang syahdu, rumah-rumah papan aneka warna disepanjang bantaran sungai, dan mmatahari pagi yang membiaskan kristal-kristal seluas mata memandang. Keindahan yang sempurna. Namun sekarang suara-suara itu bagai lagu sendu yang mengiringi film horor, dan menerorku berulang-ulang.

Jejak Sketsa Langit (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang