"Halo, Sayang. Anak Mama kok ganteng banget, mau ke mana?" tanya Emily begitu video call-nya tersambung dengan Vian.
Vian tersenyum lebar pada mamanya yang juga terlihat sedang tersenyum padanya. Wanita itu terlihat sedang berada di dapur dan sedang membuat sesuatu di sana, ditemani Omar--adik kecil Vian--yang berada persis di sebelah mamanya.
"Hai, Ma. Iya nih, Vian mau pergi. Ada undangan tujuh bulanan istri klien," jawab Vian tanpa memberitahukan siapa orang yang dia maksud.
Selama ini, Vian memang tidak pernah menceritakan perihal pertemuannya dengan Ines dan apa hubungan sahabatnya itu dengan Dito.
Vian juga tak pernah bercerita jika dia kembali menjalin hubungan dekat dengan Dito seperti dulu. Vian tak ingin membebani mamanya dengan pikiran berat tentang masalah yang dia hadapi sejak kembali ke Indonesia.
"Oh gitu. Kamu pergi sama siapa? Sendirian?"
"Sama Kemal, Ma. Cowok yang aku ceritain ke Mama itu. Kakak kelasku dulu," jawab Vian yang kemudian tersenyum dan melirik ke arah adiknya yang sibuk bermain tepung.
"Oh, dia. Iya, Mama ingat. Robin juga udah cerita sama Mama soal hubungan kalian berdua," jawab Emily sambil tersenyum penuh arti.
Vian mengangguk kecil sambil menghela napasnya. Mengingat Robin, membuatnya sedikit tak nyaman. Sampai hari ini, dia dan Robin belum juga berbaikan dan saling sapa.
Saat di kantor, Robin terlihat lebih sering menghindarinya. Jika tak sengaja berpapasan dengannya, Robin pun hanya mengulas senyum tipis yang terkesan dipaksakan.
"Hallo, Omar. Was machst du, kleiner Bruder?" tanya Vian pada adiknya untuk mengalihkan obrolan, sekaligus menghindari pertanyaan lebih lanjut dari mamanya. (Hai, Omar. Kamu lagi ngapain, adik kecil?)
Omar meringis kecil seraya menunjukkan topi koki yang dia kenakan sambil menggiling adonan untuk bahan kue kering yang ada di meja dengan rolling pin.
Sesekali, dia juga menaburkan tepung pada adonan yang digilingnya itu, menirukan apa yang sedang Emily lakukan pada adonan lain.
"Mache Cookies," jawabnya dan kembali nyengir lebar. Setelah itu, dia meraih adonan yang sudah dicetaknya dengan cetakan kue kering berbentuk hati, lalu kembali memandang Vian. "Du willst es versuchen?" tanyanya lalu menyodorkan kue yang belum jadi itu kepada Vian. (Bikin cookies) (Kamu mau coba?)
Vian tertawa, kemudian menggelengkan kepalanya. "Ich möchte das nicht essen. Die Kekse sind unreif. Mein Magen kann krank werden, wenn Sie die Kekse essen," kata Vian seraya memutar bola matanya. (Aku nggak mau makan itu. Cookies-nya 'kan belum matang. Perutku bisa sakit kalau makan cookies itu)
Omar terbahak-bahak di seberang, begitu juga dengan Emily yang kemudian mengusap rambut Omar dan memberikan instruksi pada putra bungsunya itu agar menyisihkan bagian yang sudah selesai dicetaknya ke dalam sebuah loyang.
Vian hanya diam memerhatikan seraya tersenyum-senyum sendiri ketika Omar mematuhi apa yang mamanya perintahkan sambil sesekali tertawa riang.
"Sekarang Omar lagi seneng buat cookies. Udah dua hari ini buat cookies terus. Yang kemarin, udah habis dimakan dia sendiri sambil nonton bola sama Daddy-mu," kata mamanya yang beralih melihat Vian.
"Nggak papa, Ma. Siapa tahu, nanti Omar bisa jadi Patissier terkenal di Jerman," jawab Vian sambil tersenyum lebar pada mamanya.
"Aamiin. Oh ya, mana Kemal? Kok, belum datang. Memang acaranya jam berapa?" tanya Emily lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Between You and Us
General Fiction[SELESAI] __________________________ Altavian Danish, tak pernah membayangkan jika ia akan dipertemukan lagi pada satu kesempatan dengan sosok laki-laki tampan yang dicintainya itu setelah sekian tahun. Anindito Mahawira, cin...