3 | Alien

16.4K 2.2K 55
                                    

Sebentar, ya. Sebentar. Ini aku nggak salah dengar, kan? Dia bilang apa tadi?

"Aku nggak mau nyentuh dia."

Oke-oke, aku paham. Dan cukup.

Kutolehkan wajahku untuk menatap pria sengak macam dia. Namun, dengan santainya dia menoleh, membalas tatapan tajamku dengan wajah tak berdosa.

"Situ, oke?" Aku bertanya dengan nada tak percaya dan sangat tak habis pikir.

Hening.

Suaraku bak kicauan burung gagak yang terbang di atas laut lepas. Sedikit pun tak ada manusia yang bercakap, apalagi tertawa bahagia di sekitarku. Semua terkejut. Jelas. Tenggorokanku saja rasanya kering kerontang mendengarkannya.

"I am." Sangat santai mahluk itu berkata, seperti tanpa beban dan ringan sekali.

Di sini amarahku makin meledak. Menggelegar layaknya letusan Gunung Krakatau yang meluluhlantahkan Pulau Jawa. Dan tawaku pecah begitu saja seperti orang gila. Aku berpikir, apa ini mimpi dipermalukan orang yang nggak aku kenal sama sekali secara gamblang dan terang-terangan? Oke, Lea, cukup. Hatimu sakit. Aku tahu itu.

Aku berbalik sepenuhnya dan memandang dia lekat-lekat.

"Baswara. Aku pun nggak sudi," kuberi jeda pada suaraku dan makin melotot menatapnya, "dengar apa aku bilang? AKU NGGAK SUDI! Dansa sama orang yang mukanya macam pantat badak kayak kamu!" Kutunjuk wajahnya dengan telunjukku seperti akan mencolok matanya.

Semua orang berseru kaget. Ya, itu terdengar jelas di telingaku. Dia pun melotot terkejut.

Segera aku berbalik dan berjalan menjauhinya. Dengan langkah penuh emosi, aku meninggalkan tempat ini sedikit berlari. Darahku terasa mendidih sampai gaun tanpa lengan ini masih membuatku terasa panas. Apa aku sehina itu sampai dia dengan tanpa dosanya mengatakan tak mau menyentuhku?

Oh, Tuhan ... cobaan apalagi ini.

"HEY!"

Sontak langkahku terhenti. Kuhirup napas sedalam mungkin sebelum berpaling padanya.

"Cuma cewek yang nggak punya manner isi omongannya kayak kotoran."

Dalam sepersekian detik, bibirku menganga diiringi melambatnya otak mencerna apa yang baru saja kudengar.

Beneran dia ngomong gitu? Dia itu nggak ngaca apa, ya?

Kukumpulkan kembali nyawaku. Dengan menggeletukkan gigi, aku berjalan mendekatinya dengan derap langkah dipenuhi emosi yang telah mencapai batas ubun-ubun. Hingga akhirnya, aku berhenti tepat di depannya.

"You are asshole!" teriakku kencang sambil melempar bucket yang kupegang tepat di depan wajahnya. Dengan segera aku berbalik dan mengangkat gaunku tinggi-tinggi untuk berjalan lebih cepat.

Bodoh. Bodoh amat orang lain melihatku seperti apa. Biar mereka bilang aku cewek bar-bar, kurang ajar, nggak punya aturan. Terserah!

"Shit!"

Rasain!

***

Mataku berkedip menatap nyalang langit-langit kamar yang berwarna putih. Lampu kuning nakas, masih menyala terang menerangi kamarku yang sebenarnya telah terisi sinar mentari.

Sejak peristiwa wedding party terapes pagi itu, sedikit pun aku tak meninggalkan kamar ini. Hanya berdiam diri di atas tempat tidur dengan ramainya suara televisi yang kuabaikan.

Aku menangis sepanjang malam dan menghabiskan segelundung tissue toilet?

Nggak.

Aku menjerit marah seperti orang gila yang tahu pacarnya selingkuh?

I N B O U N D (Diaeresis, #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang